Kamis 28 Nov 2019 17:06 WIB

Amnesty: SKB tak Bisa Pangkas Radikalisme, Ingatkan ke Orba

Amnesty meminga SKB direvisi dan sebaiknya dicabut.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri dan Lembaga Negara diyakini bukan solusi mengatasi radikalisme. Malah, menurut Amnesty Internasional Indonesia, SKB-11 tersebut, wajah baru bagi pemerintahan saat ini yang cenderung represif.

Direktur Amnesty Indonesia Usman Hamid mengatakan, SKB-11 tersebut menjadi alat baru untuk melakukan pengekangan atas kebebasan berkeyakinan, dan berpendapat di Indonesia.

Baca Juga

“SKB ini tidak akan bisa memangkas radikalisme. Justru keputusan itu (SKB-11), mengingatkan kita kembali ke era represi Orde Baru (Orba),” kata Usman Hamid, dalam siaran pers Amnesty Indonesia yang diterima wartawan di Jakarta, Kamis (28/11).

Menurut Usman Hamid, ada sejumlah kecacatan dalam isi SKB-11 tersebut. Salah satunya, tentang batasan-batasan, dan larangan-larangan Aparatur Sipil Negara (ASN) di media sosial (medsos). “Aturan dalam SKB-11 ini, samar, tidak memiliki dasar yang kuat, dan terlalu luas,” jelas Usman Hamid.

Ia mencontohkan adanya larangan dalam SKB-11 yang melarang seorang ASN mengapresiasi unggahan orang lain di medsos apabila unggahan tersebut dinilai mengandung ujaran kebencian terhadap identitas dan semboyan bangsa.

Menurut Usman Hamid, ada persoalan mendasar dari larangan tersebut, karena SKB-11 tak memberikan defenisi  jelas tentang ujaran kebencian, pun tentang semboyan kebangsaan.

Karena itu, Usman Hamid meminta, agar SKB-11 tersebut, kembali dipikir ulang keberlakuannya atau direvisi. Bahkan, kata dia, sebaiknya dicabut. Karena kandungan SKB-11 berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar dalam pemajuan hak asasi manusia (HAM).

“SKB ini, harus menyesuaikan dengan standar pengakuan HAM internasional, dan konstitusi Indonesia sendiri agar dapat memastikan tidak mematikan kebebasan berekspresi maupun berpendapat,” kata Usman Hamid menambahkan.

Pekan lalu (12/11), enam menteri dan lima kepala lembaga negara menandatangani keputusan yang disebut SKB Penanganan Radikalisme. SKB-11 tersebut, isinya sepakat dengan pembentukan Tim Satuan Tugas (Satgas) untuk penanganan tindakan radikalisme di lingkungan ASN.

Enam menteri dan pemimpin lembaga negara itu, menebalkan bagian dari tindakan radikalisme yakni, melakukan kegiatan intoleransi, dan anti ideologi Pancasila, serta menolak paham Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bineka Tunggal Ika. SKB-11 menganggap, tiga sikap radikalisme itu, mengancam integritas berbangsa.

SKB-11 juga mengatur tentang larangan bagi ASN melakukan aktivitas medsos yang menyuburkan tiga sikap radikalisme tersebut. Bahkan, dalam SKB-11 tersebut, melarang ASN mengunggah, atau memberikan apresiasi like, love, retweet, dalam aplikasi medsos atas unggahan yang berpaham anti-Pancasila, NKRI, dan intoleran. Satgas dalam SKB-11, menerima aduan orang lain atas ASN, yang melanggar larangan-larangan tersebut lewat aplikasi aduanasn.id.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement