REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Pusat (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Didi Suprijadi, menilai, Surat Keputusan Bersama (SKB) penanganan radikalisme terlalu berlebihan dalam mengatur ASN. Sebab, aturan tersebut berpotensi memberangus hak menyatakan pendapat.
Didi mengatakan, SKB itu tidaklah diperlukan untuk mengatur tindak tanduk ASN di media sosial, terutama guru. Sebab, guru sebagai pendidik memahami batasan-batasan dalam berperilaku.
"Tidak usahlah pakai pembatasan dengan SKB itu, nanti malah diketawaiin orang luar. Kayak tidak percaya saja sama ASN. Kepada ASN saja tidak percaya, apalagi kepada masyarakat," kata Didi kepada Republika.co.id, Rabu (27/11).
SKB penanganan radikalisme disetujui oleh 11 menteri dan pimpinan lembaga pada Selasa (12/11) lalu. Terdapat 11 poin larangan bagi ASN dalam aturan tersebut. Salah satunya melarang ASN menyampaikan ujaran kenbencian di media sosial terkait Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan pemerintah. Publik bisa melaporkan ASN yang melanggar ke laman aduanasn.id.
Menurut Didi, tidak ada guru yang terlibat radikalisme dan penyampaian ujaran kebencian di media sosial. Sebab, para guru sudah terlalu sibuk di sekolah, sehingga tak ada waktu untuk menyampaikan hujatan di dunia maya.
"Kami juga terlalu disibukkan dengan semua urusan administrasi. Apalagi mengurusi anak-anak yang membandel di sekolah," ujar Didi.
Untuk itu, Didi meminta agar SKB itu dibatalkan. Sebab yang dibutuhkan bukanlah aturan, melainkan suri tauladan yang baik dari para pemimpin republik.
Namun, lanjut dia, saat ini para pempimpin dan tokoh publik justu tidak menjadi sosok yang bisa dicontoh. Mereka terkadang malah ikut menyebar kabar bohong dan berdebat melebih kewajaran di program televisi.
"Kami guru juga sulit sendiri mencari contoh. Nanti murid nanya,'pak siapa contoh yang pancasilais?' Kan susah juga jadinya," kata Didi.