REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) menilai surat keputusan bersama (SKB) yang ditandatangani 11 lembaga negara adalah kebijakan yang tak tepat dalam mengatasi radikalisme. ADI berharap peraturan itu dievaluasi kembali.
Sekretaris Jenderal DPP ADI Amirsyah Tambunan mengatakan, SKB itu tidaklah signifikan dalam mengatasi permasalahan radikalisme.
"Seharusnya aturan yang dibuat berorientasi pada peningkatan kompetensi substantif dan metodologis. Kalau dosen sudah berkompeten, istilah radikalisme itu tak akan relevan lagi," katanya kepada Republika.co.id, Rabu (27/11).
SKB 11 adalah aturan yang disepakati 11 menteri dan pimpinan lembaga pada Selasa (12/11) lalu. Terdapat 11 poin yang larangan bagi aparatur sipil negara dalam aturan tersebut.
Di antaranya melarang ASN menyampaikan ujaran kebencian di sosial media, menyebarkan informasi menyesatkan, dan ikut serta dalam kegiatan yang mengarah pada kebencian pada Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan pemerintah.
Amirsyah menjelaskan, ketika kompetensi dosen ataupun guru sudah mumpuni, ujaran kebencian bisa diminimalisasi. Ujaran kebencian dan penyebaran hoaks, kata dia, akibat dari dosen yang belum mampu menggunakan teknologi secara tepat guna.
Karena SKB itu tak signifikan, Amirsyah menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi keputusan tersebut. Hal terpenting dalam menyusun SKB, kata dia, adalah menyesuaikan dengan Undang-Undang (UU) No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
"Selagi masih relevan dengan UU tersebut, dosen dan guru tak perlu cemas. Namun, untuk SKB sekarang memang harus dievaluasi kembali," kata dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Berikut 11 Poin aduan terhadap ASN yang diatur SKB 11 lembaga. Jika melakukan 11 poin itu, ASN bisa diadukan ke portal aduan di laman aduasn.id.
1. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio, atau video melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
2. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio, atau video melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antargolongan.
3. Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1) dan 2) melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost, dan sejenisnya).
4. Pemberitaan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
5. Menyebarluaskan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial.
6. Penyelenggaraan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
7. Keikutsertaan pada kegiatan yang diyakini mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
8. Tanggapan atau dukungan sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana angka 1) dan 2) dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, atau comment di media sosial.
9. Penggunaan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
10. Pelecehan terhadap simbol-simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial.
11. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada angka 1) sampai 10) dilakukan secara sadar oleh ASN.