REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arwani Thomafi mengkritisi terbitnya surat keputusan bersama (SKB) 11 menteri dan pimpinan lembaga tentang penanganan aparatur sipil negara (ASN) terkait radikalisme. Arwani menyebut, terbitnya SKB itu justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah.
"Sebenarnya adanya SKB 11 Kementerian atau Lembaga (K/L) ini justru menunjukkan ketidakmampuan dalam mendisiplinkan aparaturnya di masing-masing kementerian atau lembaga hingga melibatkan 11 kementerian lembaga dalam membuat SKB," ujar Arwani saat dihubungi Republika, Rabu (28/11).
Arwani menilai, tanpa SKB ini pun, masing-masing kementerian lembaga dapat memberi pengawasan, pencegahan dan pendisiplinan terhadap ASN di setiap instansi. "Toh, aturannya sudah tersedia," ujarnya.
Yang dibutuhkan saat ini, jelas Arwani, adalah penegakan aturan yang bentuknya pengawasan dan pencegahan. Posisi inspektorat di masing-masing kementerian dan lembaga semestinya lebih dipertajam dan difungsikan secara maksimal.
Arwani pun menilai, materi SKB 11 Kementerian dan Lembaga ini tidak ada yang baru. Sejumlah poin yang terkandung dalam SKB tersebut telah menjadi norma di sejumlah aturan yang ada. Namun, menurutnya, hal ini kemudian menjadi polemik ketika norma tersebut dibunyikan kembali melalui SKB yang melibatkan 11 kementerian dan lembaga sekaligus.
"Ada pesan dari SKB tersebut, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf memiliki perhatian sangat serius untuk memproteksi ASN dari hal-hal terkait radikalisme, ujaran kebencian dan sejenisnya," ujar Arwani.
Arwani pun meminta pemerintah tidak terjebak pada hiruk pikuk yang tidak perlu termasuk penerbitan SKB ini. Sehingga, esensi persoalan di seputar birokrasi dan ASN menjadi kabur.
"Isu mengenai reformasi birokrasi seperti soal perampingan jabatan struktural mestinya lebih didorong ke publik ketimbang persoalan yang sebenarnya telah menjadi tupoksi kementerian lembaga," kata Arwani