REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memanggil sejumlah kementerian yang tak menjalankan rekomendasi KPK terkait pencegahan tindak pidana korupsi. Rencana pemanggilan itu disampaikan saat rapat dengar pendapat antara KPK dan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Rabu (27/11).
Awalnya, sejumlah anggota DPR mempertanyakan upaya KPK mengawasi kelembagaan negara. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjelaskan, lembaganya masuk dan mengawasi lembaga pemerintahan secara mendetail, termasuk mengkaji potensi tindak korupsi. Kemudian, KPK memberikan sejumlah rekomendasi agar lembaga tersebut menghindari potensi korupsi.
Namun, kata Saut, rekomendasi itu tidak dijalankan. Dalam forum itu, Saut langsung menginstruksikan Direktur Pencegahan KPK Pahala Nainggolan untuk menyusun daftar kementerian yang bandel tersebut.
"Pak Pahala, please nanti bikin daftar itu bila perlu. Siap menyusun itu? Siap ya," ujar Saut. "Kita sebut menteri mana yang bandel, yang di depan (mengatakan) 'iya iya', tapi di belakang tidak melaksanakan rekomendasi kita," kata Saut melanjutkan.
Anggota Komisi III Fraksi Demokrat, Benny Kabur Harman, pun mengejar dengan menanyakan apa yang akan dilakukan pada instansi yang bandel tersebut. "Yang bandel itu diapain?" tanya dia. Saut pun langsung mengarahkan pada Deputi Penindakan untuk segera membuat surat pemanggilan.
"Oh ya ya, nanti kita panggil. Pak Panca, Pak Panca, kamu panggil nama yang disebut beliau. Pasti sudah ada di kepala kamu. Panggil besok! Oke? Sudah, Pak, dipanggil besok! Cukup ya," ujar Saut.
Saut tak menyebut secara terperinci kementerian mana saja yang dimaksud. Namun, kata Saut, ada juga kementerian yang menjalankan rekomendasi atau memberikan solusi masukan atas rekomendasi KPK. Ia mencontohkan Menteri Kesehatan Terawan yang mau memberikan solusi balasan atas rekomendasi KPK dalam katalog elektronik sektoral.
"Kemenkes yang baru keren. Dia berani men-challenge KPK. Dia tidak setuju dengan katalog sektoral. Dia jelaskan katalog sektoral itu berasal dari ketidakmampuan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). Menkes baru menyatakan akan menempatkan ahli kesehatan ke LKPP. Itu solusi," ujar Saut.
Berbeda dengan Saut, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif langsung menyebut beberapa kementerian yang tidak menjalankan rekomendasi. Di antaranya adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Laode mengatakan, Kementerian ESDM tidak mengindahkan informasi KPK terkait keberadaan lebih dari 10 ribu izin tambang ilegal di Indonesia. Penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di Kementerian ESDM pun tidak pernah menyelidik atau menyidik informasi tersebut.
“Kami sudah memberi tahu bahwa ada izin tambang di negeri ini lebih 10 ribu. Lebih 60 persen itu ilegal. Ada yang dihukum? Tak satu pun yang ada. Bahkan, dari (Kementerian) ESDM, misalnya, untuk tambang ilegal saja kan mereka punya PPNS itu. Sampai hari ini tidak ada satu kasus pun yang diselidiki dan dilidik,” kata Laode.
Rekomendasi itu meminta agar Kementerian ESDM tidak memasang flow meter untuk mengukur pengangkatan menyak dan gas di Indonesia. Pasalnya, hal itu tidak akan berjalan efektif. "Kami sudah bilang itu enggak boleh karena itu enggak akan efektif kajiannya, tetap dilaksanakan,” kata Laode. Kemudian, KPK pernah meminta Kementerian ATR/BPN untuk pembukaan data hak guna usaha (HGU). Rekomendasi itu juga tak dilakukan.
Laode meminta DPR turut mengawasi rekomendasi yang sudah disampaikan KPK ke kementerian atau lembaga. Menurut dia, banyaknya rekomendasi KPK yang tidak diindahkan ini menyebabkan pencegahan yang dilakukan tak dihargai. Padahal, pencegahan merupakan yang selama ini dituntut dari KPK oleh berbagai pihak, termasuk DPR.
“Jadi, banyak sekali rekomendasi KPK itu dan saya terus terang kadang agak merasa tidak dihargai, termasuk oleh Bapak (DPR),\" kata Laode. "We do a lot, tapi enggak pernah ditulis juga oleh teman-teman media. Kalau OTT ditulis banget." n Arif Satrio Nugrohoed: ilham tirta