REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, tidak akan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP-3) kasus dugaan korupsi eks direktur utama Pelindo II RJ Lino. KPK enggan menghentikan, meskipun kasus tersebut masih mengendap selama beberapa tahun.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menegaskan hal tersebut dalam rapat bersama Komisi III DPR RI. Alexander menjawab pertanyaan Komisi III soal ada atau tidaknya kasus yang akan dihentikan, merujuk pada UU KPK yang baru.
Alexander menyebut, KPK hanya akan menerbitkan SP-3 untuk empat tersangka yang meninggal. Kasus RJ Lino tetap akan dilanjutkan.
"Selebihnya tidak ada, jadi hanya empat orang saja sebetulnya," kata Alexander dalam rapat yang digelar di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (27/11).
Kasus RJ Lino menjadi sorotan di Komisi III karena sejumlah anggota menganggap kasus itu sudah mengendap terlalu lama dan tak kunjung disidangkan. Alasan yang mengemuka karena perincian kerugian negara yang belum jelas di kasus tersebut. Anggota dewan juga mempertanyakan alat bukti.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif pun memastikan, penetapan RJ Lino sebagai tersangka yang terjadi di periode kepemimpinan KPK sebelumnya sudah berdasarkan dua alat bukti. Namun, ketika akan masuk pengadilan kasus tersebut terganjal penghitungan alat bukti.
"Saya katakan sudah ada, tetapi ketika jaksa mau masuk ke pengadilan, dia harus menghitung secara pasti berapa yang paling eksak (pasti) kerugian negaranya," kata Laode.
Saat penetapan tersangka, penghitungan kerugian negara secara investigatif telah dilakukan penyidik KPK. Namun, tugas penghitungan kerugian negara secara pasti harus dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dengan syarat sudah ada perbuatan melawan hukum
Laode menyebut, KPK telah menanti penghitungan itu. "Tapi BPKP lama-lama hampir satu tahun lebih, dua tahun, nggak mau hitung. Saya kurang tahu apa yang terjadi," kata Laode.
Akhirnya, lanjut Laode, KPK memutuskan untuk meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan perhitungan. Bertahun-tahun, perhitungan itu pun tak kunjung selesai. Laode pun membeberkan alasan alasan yang muncul.
Alasan pertama, kata Laode, karena harga pembanding terkait barang korupsi di kasus itu tidak ada. "Karena dokumen dari Cina tidak ada. Betul. Waktu itu saya dengan Pak Agus sudah di Beijing mau minta itu, (tapi) di-cancel pertemuannya. Itu ya pak ya, ini supaya jelas saja, supaya jangan jadi ke mana-mana," kata Laode.
"Harusnya kan ada harga karena kan barangnya barang Cina. Harga dari sana berapa? Tidak ada," katanya lagi.
Laode juga menyebut, pihak otoritas Cina ini tidak kooperatif sehingga KPK meminta ahli menghitung komponen per komponen. Setelah itu, KPK membandingkan dengan harga di pasar dunia itu berapa. "Jadi, jangan anggkap KPK itu tidak melakukan upaya maksimum. Bahkan ada satu tim forensik kami pergi, pretelin itu semuanya ke tempat lain," kata Laode.
Nah, berdasarkan perhitungan ahli itu, maka dihitung harga wajarnya sebagai pembanding. Laode pun menolak anggapan bahwa kasus RJ Lino belum mencukupi dua alat bukti. Hanya saja, kata Laode, Kejaksaan belum berani menaikkan ke persidangan. KPK pun melanjutkan untuk mencari bukti penguat lainnya.
"Jadi, memang ada beda. Itu penjelasan jujur dari KPK gak ada yang kami tutupi dan ini terus terang ketika rapat terakhir itu ini kita ada seperti ada kerikil di dalam kaus kaki kita ini, RJ Lino. Kan semuanya jalan. Tapi, jangan sampai ditulis bahwa tidak ada dua alat bukti ketika menetapkan tersangka," ujar Laode.
Kasus suap pengadaan quay container crane (QCC) yang menjerat mantan direktur utama PT Pelindo Dua RJ Lini sudah berumur lebih dari 4,5 tahun. Selama itu pula kasus tersebut belum masuk ke persidangan.
Kasus korupsi pengadaan QCC di Pelindo II bermula pada Desember 2015. Eks Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino terseret kasus korupsi di perusahaan pelat merah yang ia pimpin. KPK menetapkan Lino sebagai tersangka pengadaan tiga buah quay container crane (QCC) tahun anggaran 2010.
Lino disebut telah menunjuk PT Wuxi Huadong Heavy Machinery Ltd sebagai perusahaan penggarap proyek. Penunjukan perusahaan asal Tiongkok itu dilakukan tanpa melalui proses lelang.
Lino pun disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.