Selasa 26 Nov 2019 13:23 WIB

Hotel di TIM, Radhar Panca Dahana: Jalan Keluar yang Keliru

Seniman Radhar Panca Dahana menyebut pembangunan hotel di TIM jalan keluar keliru.

Pekerja menyelesaikan pembangunan revitalisasi kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta, Senin (25/11/2019).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Pekerja menyelesaikan pembangunan revitalisasi kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta, Senin (25/11/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seniman aktif Taman Ismail Marzuki Radhar Panca Dahana angkat bicara soal pembangunan hotel sebagai bagian dari  revitalisasi yang dilakukan Pemprov DKI di pusat kesenian Taman Ismail Marzuki. Ia menilai, pendekatan yang mengedepankan sisi komersial dalam revitalisasi pusat kebudayaan sebagai sebuah kekeliruan.

"Iya dianggap sebagai cost center melulu, duit doang. Mereka bikin jalan keluar yang keliru. Nah, ini makanya, seperti kami bilang mau revitalisasi apapun boleh saja, tapi ajak bicara seniman sebagai stakeholder utama dari TIM itu mereka yang menggerakkan TIM itu karya-karya yang membuat reputasi," kata Radhar saat dihubungi Antara.

Baca Juga

Radhar juga mengatakan keputusan Jakpro mendirikan hotel tidak sejalan dengan visi menjadikan TIM sebagai pusat kesenian bagi para seniman yang telah besar dan tumbuh bersama dalam wadah untuk berekspresi itu. Ia mengungkapkan bahwa pengeluaran kebudayaan semestinya dianggap sebagai investasi, bukan biaya.

"Karena kebudayaan itu bukan cost. Kebudayaan itu investasi. Selama ini pendekatannya kesenian itu seolah-olah buang duit gitu. Itu keliru besar," kata Radhar.

Investasi kebudayaan yang dimaksud Radhar adalah investasi dari segi imateriil yang tidak dapat dibandingkan dengan keuntungan yang nantinya didapatkan dari biaya sewa hotel yang dijanjikan oleh Jakpro.

"Ukurannya berbeda, ukurannya bagaimana kita membuat manusia yang berintrgritas. Punya kepribadian, tidak korup, tidak bohong, tidak manipulatif, dan lain lain," kata sastrawan itu.

Seluruh seniman yang aktif di Taman Ismail Marzuki melakukan sebuah pernyataan yang bernama "Pernyataan Cikini" yang isinya menolak Jakpro mengelola TIM dan mendirikan hotel di pusat kesenian itu. Menurut Radhar yang juga ketua dari para seniman TIM, hingga saat ini dirinya serta seniman lainnya yang menandatangani Pernyataan Cikini tidak pernah diajak untuk berdiskusi oleh Jakpro terkait pembangunan hotel bintang lima yang akan bernama Wisma TIM.

"Jakpro itu hanya ngomong sama beberapa orang yang beberapa orang yang tidak mewakili dan merepresentasi seniman di Jakarta. Mereka merepresentasi kepentingan mereka pribadi ya kan dan saya bilang ke teman-teman "nanti juga mereka kejedot" dan mereka sudah kejedot kena PHP, akhirnya mereka kembali mendukung kita. Ada orang-orang begitu," ujar Radhar.

photo
Maket pembangunan hasil revitalisasi diperlihatkan ke publik di Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta, Rabu (3/7).

Sementara itu, Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpro) Dwi Wahyu Darwoto menyebutkan pembangunan hotel dalam revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) merupakan langkah mengoptimalisasikan wilayah kesenian. Jakpro menegaskan pembangunan bukan ajang komersialisasi.

"Nantinya (hotel) hasilnya itu jadi optimalisasi, bukan komersialisasi. Itu akan dikembalikan kepada TIM juga. Siapa pun yang mengurus, bahkan kalau Jakpro tidak jadi pengelola, ya tidak masalah juga," kata Dwi saat menjelaskan alasan pembangunan hotel kawasan TIM di kantornya Thamrin City, Senin (25/11).

Menurut Dwi, pembangunan hotel berbintang lima yang akan bernama Wisma TIM itu merupakan pondasi agar kawasan seni itu dapat mengembalikan APBD yang digunakan dalam revitalisasi. Dwi mengatakan, Jakpro tidak akan sama sekali mengubah spot seni sehingga titik-titik budaya yang ada tidak hilang.

"Tak ada satu pun yang hilang, planetarium kita pertahankan, ini adalah heritage. Cuma semua kami modernkan," kata Dwi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement