Selasa 26 Nov 2019 01:15 WIB

SKB 11 Instansi Langgar HAM Pegawai Negeri?

DPR akan meminta penjelasan soal lahirnya SKB 11 nstansi dan PP 77 tahun 2019.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Teguh Firmansyah
Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Foto: Antara/ Jojon
Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua kebijakan pemerintah terkait radikalisme, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang diteken sebelas kementerian dan lembaga menuai persoalan. Dua aturan itu dianggap kontraproduktif dengan upaya penanganan terorisme dan radikalisme, bahkan berpotensi melanggar HAM.

SKB Sebelas menteri meliputi penanganan radikalisme di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada SKB tersebut, ASN dipantau penuh pergerakannya di media sosial. Bahkan, pemerintah akan membuat laman web sebagai portal pelaporan atas ASN yang dianggap radikal.

Baca Juga

Sementara, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan. Dalam PP tersebut diatur kriteria dan indikator radikalisme untuk penegak hukum menjalankan tugasnya.

Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyebut, Komisi II DPR RI masih berupaya mendalami maksud dari terbitnya PP yang kemudian dilanjutkan dengan munculnya SKB. Legislator akan mengundang kementerian terkait untuk membahas PP dan SKB tersebut.

"Intinya kami ingin setiap peraturan itu lahir peraturan yang menyejukkan yang bisa menjaga kondusivitas, tidak kemudian mengundang kontroversi apalagi di masyarakat," kata Doli di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Senin (25/11).

Doli mengatakan, DPR akan meminta penjelasan lahirnya poin poin yang menyebabkan seseorang bisa dianggap radikal. Ia menyebut, bisa saja aturan soal radikalisme ini menyenggol hak azasi manusia (HAM) dan kebebasan berpendapat.

"Bisa terindikasi bertentangan dgn HAM, apalagi soal definisi- definisinya yang perlu di clear-kan  saya yakin pak presiden akan bisa mendengarkan itu dan kita berharap kalau banyak masukan dari masyarakat untuk merevisi peraturan pemerintah itu," ucap Poltikus Golkar itu.

Doli mempertanyakan urgensi sehingga PP dan SKB itu diterbitkan. Politikus Golkar itu mempertanyakan, ada tidaknya dialog dengan kelompok masyarakat. "Kan juga masyarakat kita ini juga terhimpun dalam kelompok-kelompok masyarakat yang secara kultural juga bisa diterima saya kira baiknya akan dilakukan dialog itu," ujar dia.

Doli mengatakan, jangan sampai SKB yang membuat portal aduan ASN itu berlaku kontraproduktif. Kinerja ASN justru menjadi tidak optimal dan menjadi masalah hukum baru.

Anggota DPR RI Komisi II Sodik Mudjahid Frasi Partai Gerindra menilai SKB tersebut mengekang kebebasan berpendapat para ASN karena dalam salah satu pasalnya mengatur ASN dalam memberikan pendapat di media sosial. Sodiq khawatir adanya SKB itu malah membuat kemunduran pada reformasi dan balik ke zaman orde baru.

“Saya jadi teringat pegawai negeri zaman orde baru. Nanti jangan-jangan, nanti pemilu pun dilaksanakan di kantornya. Sekarang sudah ada gejala begitu padahal kita bersemangat reformasi itu adalah menuju alam demokrasi yang lebih hebat, kebebasan berpendapat, kebebasan menentukan sikap, kebebasan memilih sikap politik, ini sesuatu yang harus kita waspadai,” kata Sodik di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (25/11).

Menurutnya, SKB itu juga berpotensi bertolak belakang dengan reformasi birokrasi yang selama ini digemborkan pemerintah. Apalagi aturan yang sampai masuk ke ranah probadi seperti media sosial para ASN, dinilai Sodiq sudah termasuk tindakan represif.

Sodik berharap pemerintah bisa menggunakan pendekatan lainnya dalam rangka penanganan paham radikalisme, yakni dengan penguatan intelijen dan aparat keamanan. Sodik khawatir, pengekangan terhadap ASN justru bakal kontraproduktif bagi pemerintah.

Diketahui, sejumlah Kementerian dan Badan melakukan penandatanganan SKB Penanganan ASN di Hotel Grand Sahid, Jakarta Selatan, Selasa (12/11) lalu. Dalam kesempatan ini juga diluncurkan portal aduan ASN.

Adapun yang menandatangi SKB ialah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Mendagri, Menkumham, Menag, Mendikbud, Menkominfo, Kepala BIN, Kepala BNPT, Kepala BKN, Kepala BPIP, dan Komisi ASN.

Nantinya masyarakat dapar melaporkan ASN yang diduga melanggar. Berikut poin-poin aturan untuk ASN yang bisa diadukan melalui portal aduanasn.id:

1. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio, atau video melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.

2. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio, atau video melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras dan antar golongan.

3. Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1) dan 2) melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost dan sejenisnya).

4. Pemberitaan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.

5. Menyebarluaskan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial.

6. Penyelenggaraan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.

7. Keikutsertaan pada kegiatan yang diyakini mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.

8. Tanggapan atau dukungan sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana angka 1) dan 2) dengan memberikan likes, dislike, love, retweet atau comment di media sosial.

9. Penggunaan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.

10. Pelecehan terhadap simbol-simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial.

11. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada angka 1) sampai 10) dilakukan secara sadar oleh ASN.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement