Sabtu 09 Nov 2019 04:39 WIB

Jalan Panjang Penemuan Dasar Negara: Siapa Kahar Mudzakkir?

Ahmad Kahar Muzakkir: Jalan Panjang Penemuan Dasar Negara

     Keterangan Foto: Abdul Kahar Muzakkir (duduk, kedua dari kiri) melakukan  diplomasi pengakuan kemerdekaan di Mesir.
Foto: wikipedia/gahetna.nl
Keterangan Foto: Abdul Kahar Muzakkir (duduk, kedua dari kiri) melakukan diplomasi pengakuan kemerdekaan di Mesir.

Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah Mantan Staf Ahli Wapres Hamzah Haz dan Staf M Natsir

Setelah diusulkan sejak 2012, akhirnya pada 8  November 2019, negara mengukuhkan Prof. K.H. A. Kahar Mudzakkir (1907-1973) sebagai Pahlawan Nasional.

Meskipun nama Abdul Kahar Mudzakkir terabadikan di dalam sejarah pembentukan Negara Republik Indonesia sebagai salah seorang anggota Panitia Sembilan yang menghasilkan rumusan resmi pertama rancangan Preambule Undang-Undang Dasar 1945 seperti dirumuskan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan meskipun Abdul Kahar telah turut sejak masa paling awal dari proses pembentukan Sekolah Tinggi Islam (STI), serta menjadi pemimpin pertama dari perguruan tinggi yang kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, ternyata tidak mudah “menyajikan” apa dan siapa Abdul Kahar kepada publik.

Hal itu terutama sekali karena sifat tawadhu para pemimpin kita di masa lalu yang tidak mau mencatat dan menuliskan apa yang pernah mereka perbuat untuk negeri ini, dan sejarah pun tidak cukup berbaik hati untuk mencatat peranan mereka. Berbagai buku sejarah politik dan konstitusi Indonesia, bagai melupakan tokoh kelahiran Yogyakarta ini, padahal Abdul Kahar adalah anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang pada 1 Juni 1945 menyampaikan pikirannya mengenai dasar negara Indonesia yang akan dibentuk.

Ironisnya sejak buku  Mr Mohamad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 yang terbit pertama kali pada 1959, hingga buku RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan yang terbit pada 2004, pidato Abdul Kahar (bersama banyak pidato anggota BPUPK yang lain), tidak pernah dapat dinikmati oleh masyarakat luas.

Menurut buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), pada persidangan pertama BPUPKI, 29 Mei – 1 Juni 1945, terdapat 31 anggota yang menyampaikan pidato, akan tetapi Risalah Sidang hanya memuat notulasi pidato-pidato Yamin (29 dan 31 Mei 1945), Soepomo (31 Mei 1945), dan Soekarno (1 Juni 1945). Ke manakah para   tokoh, calon pembicara yang sudah terjadualkan itu?

Mungkinkah  27 anggota BPUPK yang lain, termasuk di dalamnya Mohammad Hatta, H. Agus Salim, K.H. Ahmad Sanusi, K.H. Abdul Kahar Mudzakkir, Soekiman Wirjosandjojo, A.R. Baswedan, dan Latuharhary membuang begitu saja peluang bersejarah untuk mengemukakan gagasan mengenai Indonesia merdeka yang sudah mereka suarakan dan perjuangkan sejak dua dasawarsa terakhir? Atau, jika pidato mereka tidak tercatat, mengapa tidak tercatat. Jika hilang, tidak adakah ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk menemukannya?

Ini misteri yang mesti diusut oleh para ahli sejarah.

Syukurlah, di buku karya RM. A.B. Kusuma, dimuat pidato Ki Bagus Hadikusumo yang disampaikannya pada 31 Mei 1945. Pidato itu dikutip Kusuma dari buku Ki Bagus Hadikusumo, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 1982.

Duta Besar Sebelum Indonesia Merdeka

Padausia 17 tahun, selepas menyelesaikan pendidikan di berbagai pondok pesantren dan madrasah Mambaul Ulum, Surakarta, Abdul Kahar pergi jauh. Mula-mula ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setahun kemudian ia sudah berada di Mesir untuk melanjutkan pendidikan.

Selama 12 tahun di Mesir, Abdul Kahar yang kuliah di Universitas Al-Azhar, kemudian di Universitas Darul Ulum, aktif memperkenalkan Indonesia yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda kepada publik melalui berbagai tulisannya di koran-koran Mesir seperti Al-Ahram, Al-Balagh, dan Al-Hayat. Ia bersahabat dengan Sayyid Qutb, tokoh Ikhwanul Muslimin penulis Tafsir Fii Dzilal al Quran. Ia juga aktif menjalin hubungan dengan para aktivis Partai Wafd.

Berkat aktivitasnya itu, Abdul Kahar popular di kalangan aktivis Islam di Mesir. Pada 1931, dia diminta oleh Mufti Besar Palestina, Sayid Amin Al-Husaini untuk menghadiri Muktamar Islam Internasional di Palestina mewakili Asia Tenggara. Setelah berkomunikasi dengan Partai Syarikat Islam Indonesia di Tanah Air, Abdul Kahar pun berangkat menghadiri muktamar.

Abdul Kahar yang baru berusia 24 tahun, bukan hanya menjadi peserta termuda, tetapi terpilih sebagai sekretaris muktamar mendampingi Mufti Besar Palestina. Kesempatan itu  dimanfaatkan Abdul Kahar untuk lebih mengenalkan kondisi Indonesia yang mayoritas Muslim dan meminta dukungan muktamar untuk perjuangan Indonesia menuju kemerdekaan.

Tidak syak lagi, aktivitas Abdul Kahar selama di Mesir, kelak mempermudah ikhtiar H. Agus Salim, AR. Baswedan, dan H.M. Rasjidi, untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia dari Mesir. Pada periode 1930-an, kata Rasjidi, di Mesir dan Timur Tengah, publik bersimpati kepada Indonesia karena aktivitas Abdul Kahar yang merupakan lambang atau personifikasi Indonesia di Timur Tengah.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, sebelum ada duta besar Indonesia di Mesir, Abdul Kahar telah menjalankan tugas duta besar itu dengan sebaik-baiknya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement