Kamis 31 Oct 2019 05:01 WIB

Dari Reformasi Dikorupsi Hingga Lemparan Kotoran Sapi

Berbagai ragam aksi menunjukkan ada hal yang harus diseriusi pemerintah.

Esthi Maharani
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada lebih dari 50 orang demonstran yang meninggal sepanjang 2019. Data tersebut terhimpun dari berbagai wilayah di tanah air. Beberapa yang menarik perhatian seperti demo mahasiswa bertajuk 'Reformasi Dikorupsi' di Jakarta pada 24 September 2019 telah menewaskan tiga orang tanpa keterangan resmi. Ada pula demo mahasiswa 'Reformasi Dikorupsi' di Kendari pada 26 September 2019 telah menewaskan dua orang karena ditembak aparat. Terakhir, aksi antirasisme di Wamena dan Jayapura pada 23-28 September 2019 telah menewaskan 37 orang tanpa ada informasi resmi.

Belum lagi ratusan demonstran mengalami perlakuan berlebihan dari aparat kepolisian, yang menyebabkan luka-luka, hingga penangkapan tanpa alasan hingga Oktober 2019. Jangan lupa pula pembatasan-pembatasan untuk para demonstran seperti dari Semarang yang dipersulit untuk ke Jakarta pada 24 September lalu atau permintaan aparat agar demonstrasi ‘diwakilkan’ segelintir orang saja.

"Ini sangat mengerikan kalau dibaca dalam kaca mata negara hukum, HAM, dan demokrasi. Seingat saya belum ada pascareformasi, aksi dalam setahun menelan korban jiwa sebanyak ini," ujar Ketua Umum YLBHI Asfinawati belum lama ini.

Respons pemerintah nyatanya masih seadanya. Tuntutan demonstrasi ‘Reformasi Dikorupsi’ tidak benar-benar dipenuhi. Mediasi ataupun dialog antara pemerintah dan mahasiswa tidak pernah terjadi. Memang, pernah ada wacana pertemuan antara presiden dengan mahasiswa tetapi hal itu tidak terealisasi karena syarat yang diajukan mahasiswa--agar pertemuan dilakukan secara terbuka—tidak dipenuhi. Setelah itu, wacana itu menguap dan tidak ada inisiatif dari pemerintah untuk menindaklanjuti atau mencari jalan tengah agar pertemuan bisa dilakukan.

Lalu, meninggalnya mahasiswa Kendari karena peluru polisi direspons dengan sanksi disiplin. Ada enam orang polisi yang diduga menyalahgunakan senjata api dalam demonstrasi yang menewaskan dua mahasiswa Universitas Halu Oleo pada 26 September. Meski enam orang telah menerima sanksi, polisi belum menyimpulkan siapakah yang melakukan penembakan kepada dua mahasiswa tersebut.

Nyatanya, ‘hanya’ sanksi disiplin untuk enam polisi yang membuat dua orang kehilangan nyawa menimbulkan ketidakpuasan. Demonstrasi pun kembali terjadi. Kali ini, mahasiswa tak hanya berbekal batu, tetapi juga membawa kotoran sapi yang dibungkus plastik untuk dilemparkan ke polisi. Saya tak bisa membayangkan mereka menyendoki dan membungkus kotoran sapi ke plastik, membawanya ke tengah aksi, dan melemparkannya ke polisi. Tapi, ya saya juga berempati pada polisi yang terkena kotoran sapi itu sih.

Satu aksi lagi yang mencuri perhatian yakni aksi aktivis Greenpeace yang memanjat patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia dan patung Dirgantara di Pancoran tepat di hari pelantikan Kabinet Indonesia Maju oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Maruf Amin. Mereka mengibarkan spanduk kuning yang bertuliskan ‘Orang baik, pilih energi baik’ dan ‘Lawan perusak hutan’. Dua spanduk besar itu dibarengi #reformasidikorupsi yang menunjukkan aksi tersebut bagian dari aksi-aksi sebelumnya.

Dengan aksi-aksi fenomenal dan simbolik tersebut serta dampak yang ditimbulkannya, Saya hanya berpikir apa pemerintah tidak tahu? Apa pemerintah melihat? Apa pemerintah tidak mendengar? Apa pemerintah tidak paham bahwa kondisi negara dan bangsa tidak baik-baik saja? Apa karena terlalu bising, sampai-sampai pemerintah tidak tahu mana yang harus dilihat dan didengar untuk kemudian direspons dengan benar?

Saya percaya, mereka yang beraksi sebenarnya tidak ingin demonstrasi sampai malam, berhari-hari, hingga menimbulkan korban meninggal ataupun luka-luka, mereka mungkin juga tak ingin memanjat tingginya patung ikonik di Jakarta, atau melempari kotoran sapi ke aparat kalau mereka masih punya harap dan diberikan ruang dialog yang memadai. Saya juga yakin, mereka tidak akan melakukan aksi tersebut jika ada sesuatu riil dan nyata didapatkan dari usaha-usaha yang selama ini telah dilakukan.

Jadi, saya pikir, sudah seharusnya dan sudah saatnya pemerintah lebih peka terhadap situasi dan kondisi saat ini. Demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah dan dengan berbagai cara mulai dari aksi damai, aksi ‘anarkis’, aksi simbolik adalah tanda bagi pemerintah bahwa ada sesuatu yang harus diperhatikan secara lebih fokus dan serius. Tolong jangan dibiarkan atau dikecilkan aksi-aksi yang selama ini terjadi.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement