Rabu 30 Oct 2019 09:29 WIB

Mahfud: Perppu Tinggal Tunggu Presiden

Mahfud dinilai sebagai sosok yang menolak pelemahan KPK.

Logo KPK
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Logo KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengungkapkan, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK) hanya tinggal menunggu keputusan Presiden Joko Widodo. Menurut Mahfud, sikap dan pandangannya serta masyarakat sudah disampaikan ke Presiden sebelum ia menjabat menteri.

Mahfud menjelaskan, berbagai masukan itu sudah diolah untuk kemudian diputuskan akan menerbitkan perppu atau tidak. "Sekarang kita tinggal menunggu Presiden bagaimana. Sudah diolah," kata Mahfud, Senin (29/10) malam.

Baca Juga

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai jabatan Mahfud sebagai menko polhukam membawa angin segar bagi penerbitan perppu. Sebab, Mahfud dinilai sebagai sosok yang menolak pelemahan KPK, sedangkan UU KPK yang baru dianggap melemahkan pemberantasan korupsi.

"Kalau dikaitkan dengan pembentukan kabinet, dengan ditunjuknya Mahfud MD sebagai menko polhukam maka seharusnya bisa meminta Presiden segera mengeluarkan perppu. Kita lihat batasan waktu 100 hari untuk bisa mendorong Presiden mengeluarkan perppu. Kalau memang nanti tidak bisa, maka menurut saya Prof Mahfud sebaiknya mundur sebab kita percaya kepada beliau," kata peneliti ICW bi dang hukum dan monitoring peradilan, Kurnia Ramadhana.

Pada Selasa kemarin, Mahfud MD, memberikan ICW tantangan balik. ICW diminta tetap membuat pernyataan terkait perppu pada 100 hari tersebut. "Saya beri juga waktu 100 hari untuk ICW, apa namanya, untuk membuat pernyataan apa pun yang terkait dengan itu. Memang ICW itu siapa?" ujar Mahfud.

Pengesahan UU KPK hasil revisi pada September lalu memantik gelombang penolakan dari berbagai pihak. Aksi unjuk rasa dilakukan oleh KPK, pegiat antikorupsi, mahasiswa hingga masyarakat sipil. Pada 26 September, Presiden Jokowi menyatakan akan mempertimbangkan penerbitan perppu. Namun, hingga UU KPK hasil revisi berlaku, perppu belum kunjung keluar.

Koordinator ICW Adnan Topan Husodo juga meminta Presiden Joko Widodo mempertimbangkan kembali penerbitan Perppu KPK. Ia meyakinkan penguatan KPK dapat mendukung program pembangunan pemerintah karena dananya tak diselewengkan. "Karena pada dasarnya, tanpa antikorupsi maka capaian pembangunan akan meleset karena digerus perilaku koruptif pejabatnya," katanya, Senin.

Adnan merasa penguatan KPK wajar agar lembaga antirasuah itu dapat menjadi mitra pemerintah. Posisi KPK dengan UU KPK sekarang, menurut dia malah melemahkan KPK. "KPK harus kuat, kalau situasi seperti UU (KPK) sekarang maka bukan mitra tapi di bawah Presiden. Posisi ini bahaya. Mestinya tak terjadi," ujarnya.

photo
Menkopolhukam, Mahfud MD

UE kecewa

Revisi UU KPK juga mendapatkan sorotan dari Eropa. Dalam pernyataan tertulisnya, Parlemen Uni Eropa menyesalkan perubahan status KPK menjadi badan pemerintah dalam UU hasil revisi.

"Menyesalkan (regret) usulan legislasi terkait peraturan antikorupsi, yang mana di dalamnya KPK akan menjadi badan pemerintah dan tidak lagi badan independen. Kami menyerukan perlunya revisi aturan tersebut," petikan pernyataan Parlemen Eropa dalam Mosi dan Resolusi yang di unggah dalam laman resmi mereka, europarl.europa.eu, Rabu (23/10).

Parlemen Uni Eropa merupakan lembaga legislatif yang mencangkup 28 negara Uni Eropa. Parlemen itu berang gotakan 751 orang yang dipilih langsung oleh ratusan juta warga lewat pemilu Eropa.

Parlemen Eropa menilai, dengan UU hasil revisi itu, Indonesia telah meloloskan aturan kontroversial yang melemahkan KPK. Padahal, mereka berpandangan, KPK telah berhasil menangkap ratusan politisi sejak lembaga tersebut dibentuk pada 2002.

Mereka juga menyoroti Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta aturan antilegislasi. Menurut Parlemen Uni Eropa, aturan tersebut telah digunakan untuk membatasi pekerja pembela HAM.

Soal RKUHP, Parlemen Uni Eropa berpandangan, rancangan tersebut memungkinkan adanya diskriminasi berbasis gender, agama, dan orientasi seksual, termasuk pula diskriminasi terhadap minoritas. Meski demikian, mereka tetap menghargai Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia. Mereka menilai Indonesia sebagai negara demokratis yang cukup stabil, yang dihuni populasi Muslim terbesar di dunia. (ronggo astungkoro/dian erika nugraheny/riza wahyu pratama ed: ilham tirta)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement