Ahad 27 Oct 2019 00:11 WIB

Sikap Parpol Kita, Dinamis atau Mencla Mencle ?

Banyak ditemukan perubahan sikap parpol sebelum dan sesudah pilpres.

Mohammad Hafil
Mohammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*

Di era perpolitikan reformasi (1998-sekarang), khususnya di era pemilihan presiden (pilpres) secara langsung sejak 2004, ada beberapa parpol yang menjadi oposisi. Namun, tingkat ‘keoposisiannya’ juga bertingkat-tingkat secara waktunya.

Di tingkat yang terlama, ada PDI Perjuangan (PDIP). Partai ini 10 tahun (2004-2014) menjadi oposisi di dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Partai Demokrat sebagai pemimpinnya.

Kemudian, ada Partai Gerindra yang menjadi oposisi di dua pemerintahan yang berbeda. Yaitu, SBY (2009-2014) dan Jokowi (2014-2019). Perlu diingat, Gerindra baru ikut pemilu sejak 2009.

Selanjutnya, ada PKS pada kabinet Indonesia Kerja dengan Jokowi sebagai presidennya (2014-2019) dan dilanjutkan di periode kedua Presiden Jokowi (2019-2024).

Lalu, ada Partai Hanura yang menjadi oposisi di pemerintahan SBY (2009-2014). Namun, Hanura juga baru ikut pemilu sejak 2009.

Dan, ada Partai Demokrat yang menjadi oposisi pada 2014-2019. Meskipun, banyak yang menilai Demokrat sejatinya bermain dua kaki sejak 2014 sampai sekarang.

PAN juga sempat merasakan oposisi. Namun, tidak menjadi oposisi yang penuh. PAN menjadi oposisi selama dua tahun yaitu pada 2014-2016 sebelum akhirnya bergabung dengan pemerintah.

Sisanya, seperti Golkar, PPP, PKB, selalu bergabung dengan pemerintah. Mereka tidak pernah merasakan ada di luar pemerintahan sejak era reformasi. Golkar sebenarnya juga sempat dua tahun menjadi oposisi yaitu era 2014-2016 sebelum memutuskan akhirnya bergabung dengan pemerintah.  Kemudian, Nasdem yang baru mengikuti pemilu sejak 2014, juga selalu bergabung dengan pemerintah. 

Di antara partai-partai yang selalu bergabung dengan pemerintah, hanya PKB dan Nasdem yang benar-benar murni menjadi pendukung presiden-wapres terpilih sejak masa pencapresan. Pada 2004 PKB mendukung SBY-JK, pada 2009, PKB mendukung SBY-Boediono, pada 2014 PKB mendukung Jokowi-JK, dan pada 2019 mendukung Jokowi-Maruf. Sementara, Nasdem sejak pencapresan mendukung Jokowi-JK pada Pilpres 2014 dan Jokowi-Maruf pada Pilpres 2019.

Sisanya seperti Golkar dan PPP, ada kalanya mendukung ketika presiden dan wapresnya telah terpilih. Meskipun, sejak awal pencapresan mereka bukan pendukungnya.  Itu terjadi pada Pilpres 2014 di mana tadinya Golkar dan PPP mendukung secara resmi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Dalam perjalanan politik sejak pilpres langsung itu, penulis menyoroti tentang sebuah sikap partai politik yang tidak ‘mencla-mencle’.  Yaitu, PDIP, PKS, dan PKB.

PDIP berani mengambil sikap oposisi selama 10 tahun atau dua periode pemerintahan SBY (2004-2014. Hasilnya, PDIP menjadi partai dengan perolehan suara terbanyak pada dua pemilu yaitu 2014 dan 2019. Bagi penulis, ini adalah sebuah apresiasi dari masyarakat terhadap partai yang berani mengambil sikap politik yang tidak mencla-mencle.

Kemudian, PKS juga patut diacungi jempol. Berani menjadi oposisi sejak 2014, dan dilanjutkan dengan tegas pada 2019. Hasilnya, meski tidak sebanyak PDIP, PKS mengalami kenaikan suara pada 2019 di mana pada 2014 lalu suara PKS sempat turun.

Kemudian, PKB. PKB sejak 2004 juga berani mengambil sikap untuk mendukung sejak masa pencapresan serta tidak pindah haluan setelahnya seperti Golkar, PAN, PPP, ataupun Gerindra. Dan, PKB pun memang layak diberi tempat di kabinet.

Yang mengejutkan, saat ini terjadi pada Gerindra. Di mana, sikap Gerindra ini benar-benar di luar perkiraan. Seperti diketahui, ketua umum Gerindra Prabowo Subianto, adalah rival Jokowi selama dua kali pilpres. Prabowo dan Jokowi sama-sama menjadi capres pada 2014 dan 2019. Namun, pascapilpres 2019 ini, Gerindra memutuskan untuk masuk dalam kabinet. Dan, tak tanggung-tanggung, Prabowo menjadi menteri pertahanan yang notabenenya sekarang dia adalah pembantu Presiden Jokowi.

Kita belum bisa menerka-nerka ada kompromi apa di balik keputusan Gerindra ini karena Prabowo menjadi menteri baru beberapa hari. Namun, yang perlu kita ambil sikap sebagai rakyat adalah, ini sebuat realitas politik. Tidak ada yang abadi dalam politik. Lawan bisa menjadi kawan dan kawan pun bisa menjadi lawan.

Maka dari itu, dalam mengikuti kontestasi politik dan perjalanan sikap parpol-parpol di Indonesia, kita jangan ‘baper’. Kita harus menyadari bahwa politik itu dinamis dan bisa berubah-ubah. Dengan mengedepankan rasionalitas kita sebagai pemilih, jangan sampai hanya gara-gara perbedaan politik kita berpecah belah bahkan sampai harus bermusuhan.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement