REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK menangkap Wali Kota Medan Tengku Dzulmi Eldin saat melakukan fisioterapi di salah satu rumah sakit di kota Medan, Selasa (15/10) malam.
"Sekitar pukul 23.00 WIB tim bergerak ke sebuah rumah sakit di Kota Medan di mana TDE (Tengku Dzulmi Eldin) sedang melakukan fisioterapi. Tim kemudian mengamankan APP (Aidiel Putra Pratama) yang sedang mendampingi TDE di rumah sakit," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Rabu.
Tengku Dzulmi ditetapkan sebagai tersangka setelah diamankan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Medan bersama dengan enam orang lainnya antara lain Kepala Sub Bagian Protokoler Kota Medan Syamsul Fitri Siregar (SFI), Kepala Dinas PUPR Kota Medan Isa Ansyari (IAN), ajudan Wali Kota Medan Aidiel Putra Pratama (APP) dan Sultan Solahudin (SSO) pada Selasa (15/10).
Saut bersama tiga pimpinan KPK lainnya yaitu Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan dan Alexander Marwata menyampaikan kronologi OTT tersebut. "Tim mendapatkan informasi adanya permintaan uang dari wali kota Medan untuk menutupi ekses perjalanan dinas wali kota bersama jajaran pemkot Medan ke Jepang, diketahui wali kota membawa serta keluarganya pada perjalanan dinas tersebut," tambah Saut.
Syamsul Fitri Siregar selaku Kasubag Protokoler Wali Kota Medan yang juga ikut serta dalam perjalanan dinas ke Jepang tersebut menyanggupi dan berusaha memenuhi permintaan itu.
Syamsul kemudian menghubungi beberapa kepala dinas di lingkungan pemerintah kota Medan untuk meminta kutipan dana untuk menutupi dana APBD yang sebelumnya digunakan dalam perjalanan dinas tersebut
Pada Selasa, 15 Oktober 2019, Isa Ansyari sebagai Kepala Dinas PUPR Kota Medan bersedia memberikan uang sebesar Rp250 juta. Uang tersebut diberikan melalui transfer sebesar Rp200 juta dan Rp50 juta diberikan secara tunai
Setelah memastikan adanya transaksi pemberian uang dari Kadis PU ke Aidiel selaku ajudan Tengku Dzulmi, pada hari yang sama tim langsung bergerak untuk mengamankan orang-orang terkait.
"Pukul 20.00 WIB tim mengejar AND (Andika), seorang ajudan, setelah mengambil uang tunai Rp50 juta di rumah IAN (Isa Ansyari). Namun, tim tidak berhasil mengamankan AND, dia kabur setelah berusaha menabrak tim yang bertugas di lapangan," tambah Saut.
Tim kemudian bergerak ke rumah Isa dan mengamankan yang bersangkutan pukul 21.30 WIB. Selanjutnya tim pun bergerak ke rumah sakit untuk mengamankan Tengku Dzulmi dan Aidiel.
Pada Rabu (16/10) dini hari, pukul 01.30 WIB, tim bergerak kantor wali kota Medan dan mengamankan SSO (Sultan Solahudin) beserta uang tunai sebesar Rp200 juta di laci kabinet di ruang protokoler.
Terakhir tim mengamankan Syamsul Fitri di rumahnya pada Rabu (16/10) sekitar pukul 11.00 WIB.
Lima orang yang diamankan tersebut kemudian diterbangkan ke Jakarta secara bertahap. Tengku Dzulmi tiba di Gedung Merah Putih KPK pada Rabu, 16 Oktober 2019 pukul 11.50 WIB, Sultan Solahudin dan Isa Ansyari tiba pukul 15.10 WIB, terakhir Syamsul Fitri Siregar dan Aidiel Putra Pratama tiba pukul 20.05 WIB.
Tengku Dzulmi adalah kepala daerah yang ke-49 yang ditangkap tangan oleh KPK dan menjadi kegiatan tangkap tangan di Medan ini merupakan tangkap tangan yang ke-21 tahun ini.
"KPK sangat menyesalkan terjadinya suap dari organisasi perangkat daerah kepada kepala daerah hanya untuk memperkaya diri sendiri dan malah mencederai kepercayaan yang telah rakyat berikan. Para penyelenggara negara kemudian malah menggunakan uang yang seharusnya untuk rakyat untuk kepentingan pribadi dan sekelompok orang," ungkap Saut.
KPK pun menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan penerimaan suap terkait proyek dan jabatan oleh Walikota Medan 2014-2015 dan 2016-2021.
Sebagai pihak yang diduga penerima, Tengku Dzulmi dan Syamsul Fitir disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.
Sedangkan sebagai pihak yang diduga pemberi: Isa Ansyari disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Pasal tersebut yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.