Kamis 17 Oct 2019 00:56 WIB

KPK Tetapkan Wali Kota Medan Tersangka Suap

Wali Kota Medan diamankan bersama enam orang lainnya.

OTT Walikota Medan. Wali Kota Medan Dzulmi Eldin bersama penyidik KPK tiba di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Foto: Republika/ Wihdan
OTT Walikota Medan. Wali Kota Medan Dzulmi Eldin bersama penyidik KPK tiba di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (16/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK menetapkan Wali Kota Medan periode 2014-2015 dan 2016-2021 Tengku Dzulmi Eldin sebagai tersangka dugaan penerimaan suap terkait proyek dan jabatan oleh Wali Kota Medan 2014-2015 dan 2016-2021.

"Setelah melakukan pemeriksaan dilanjutkan dengan gelar perkara, maka disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi. KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu pemberi IAN (Isa Ansyari) Kepala Dinas PUPR Kota Medan, TDE (Tengku Dzulmi Eldin) Wali Kota Medan dan SFI (Syamsul Fitri Siregar) Kepala Bagian Protokoler kota Medan," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Rabu malam (16/10).

Baca Juga

Tengku Dzulmi ditetapkan sebagai tersangka setelah diamankan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Medan bersama dengan enam orang lainnya, antara lain Kepala Sub Bagian Protokoler Kota Medan Syamsul Fitri Siregar (SFI), Kepala Dinas PUPR Kota Medan Isa Ansyari (IAN), ajudan Wali Kota Medan Aidiel Putra Pratama (APP) dan Sultan Solahudin (SSO) pada Selasa (15/10).

Dalam perkara ini, Tengku Dzulmi diduga menerima sejumlah uang dari Isa Ansyari. Pertama, Isa memberikan uang tunai sebesar Rp 20 juta setiap bulan pada periode Maret-Juni 2019. Pada 18 September 2019, Isa juga memberikan uang senilai Rp 50 juta kepada Tengku Dzulmi.

Pemberian kedua terkait dengan perjalanan dinas Tengku Dzulmi ke Jepang yang juga membawa keluarganya. "Pada Juli 2019, TDE melakukan perjalanan dinas ke Jepang didampingi beberapa kepala dinas di lingkungan Pemerintah Kota Medan. Perjalanan dinas ini dalam rangka kerja sama 'sister city' antara Kota Medan dan Kota Ichikawa di Jepang," ujar Saut.

Dalam perjalanan dinas tersebut, di luar rombongan Pemerintah Kota Medan, Tengku Dzulmi mengajak serta istri, dua orang anak, dan beberapa orang lainnya yang tidak berkepentingan. Keluarga Tengku Dzulmi bahkan memperpanjang waktu tinggal di Jepang selama tiga hari di luar waktu perjalanan dinas. Di masa perpanjangan tersebut mereka didampingi oleh Kasubbag Protokol Pemerintah Kota Medan, yaitu Syamsul Fitri Siregar.

"Akibat keikutsertaan pihak-pihak yang tidak berkepentingan, terdapat pengeluaran perjalanan dinas wali kota yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bisa dibayarkan dengan dana APBD. Pihak tour and travel kemudian menagih sejumlah pembayaran tersebut kepada TDE," ujar Saut.

Tengku Dzulmi kemudian bertemu dengan Syamsul dan memerintahkannya mencari dana dan menutupi ekses dana non-budget perjalanan ke Jepang tersebut dengan nilai sekitar Rp 800 juta. "Kadis PUPR lalu mengirim Rp 200 juta ke wali kota atas permintaan melalui protokoler untuk keperluan pribadi wali kota," kata Saut.

Pada 10 Oktober 2019, Syamsul menghubungi ajudan Tengku Dzulmi, Aidiel Putra Pratama dan menyampaikan adanya keperluan dana sekitar Rp 800-900 juta untuk menutupi pengeluaran di Jepang. Syamsul kemudian membuat daftar target kepala-kepala dinas yang akan dimintakan kutipan dana, termasuk para kepala dinas yang ikut berangkat ke Jepang dan juga Isa Ansyari meski ia tidak ikut berangkat ke Jepang.

"Diduga IAN dimintai uang tersebut karena diangkat sebagai kadis PU oleh TDE," katanya.

Di dalam daftar tersebut, Isa ditargetkan untuk memberikan dana sebesar Rp 250 juta. Kemudian pada 13 Oktober 2019, Syamsul menghubung Isa untuk meminta bantuan dana sebesar Rp 250 juta. Pada 15 Oktober 2019, Isa mentransfer Rp 200 juta ke rekening rekening bank atas nama kerabat dari Aidiel dan melakukan konfirmasi kepada Syamsul.

Aidiel lalu menghubungi kerabatnya dan meminta agar uang diserahkan ke rekannya sesama ajudan wali kota yang kemudian disimpan di ruangan bagian protokoler Pemkot Medan. Salah satu ajudan wali kota medan yang lain, yaitu Andika kemudian menanyakan kepada Isa tentang kekurangan uang sebesar Rp 50 juta yang disepakati. Isa menyampaikan mengambil uang tersebut secara tunai di rumahnya.

Pada 15 Oktober tersebut sekitar pukul 20.00 WIB, Andika datang ke rumah Isa untuk mengambil uang Rp 50 juta yang ditujukan untuk Tengku Dzulmi. "Di saat perjalanan dari rumah IAS, kendaraan AND diberhentikan oleh Tim KPK untuk diamankan beserta uang tersebut. Pada saat kendaraan AND dihampiri oleh petugas KPK yang telah menunjukkan tanda pengenal, AND memundurkan mobilnya dengan cepat sehingga hampir menabrak petugas KPK yang harus melompat untuk menyelamatkan diri. AND kemudian kabur bersama uang sebesar Rp 50 juta tersebut dan belum diketahui keberadaannya hingga saat ini," kata Saut.

photo
Staf protokol Wali Kota Medan Dzulmi Eldin berinisial A (kedua kiri) yang mencoba melarikan diri dan hampir menabrak petugas KPK bersiap menjalani pemeriksaan saat tiba di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (16/10).

Saut mengimbau Andika segera menyerahkan diri ke KPK dan membawa serta uang Rp 50 juta yang masih dalam penguasaannya. Sebagai pihak yang diduga penerima, Tengku Dzulmi dan Syamsul Fitir disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Andika saat ini telah berada di gedung KPK.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Ancaman penjara atas kejahatan tersebut minimal empat tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp 200 juta maksimal Rp 1 miliar.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga pemberi: Isa Ansyari disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Pasal tersebut yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement