Selasa 15 Oct 2019 07:47 WIB

Oposisi Ikut Koalisi, Bagaimana Nasib Pengawasan Pemerintah?

Penunjukkan menteri di kabinet diharapkan transparan.

Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan, pada pertemuan tertutup di Ruang Jepara, Istana Merdeka, Jakarta, Senin (14/10/2019).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan, pada pertemuan tertutup di Ruang Jepara, Istana Merdeka, Jakarta, Senin (14/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu merapatnya Demokrat dan Gerindra ke koalisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma’ruf Amin membuka potensi koalisi semakin gemuk. Dengan banyaknya parpol pendukung pemerintah dalam satu koalisi, fungsi pengawasan pemerintahan dikhawatirkan akan semakin melemah.

"Semakin gemuk koalisinya, semakin gemuk dukungan-dukungan itu, ya, semakin sepi nanti kan pengawasan itu yang dilakukan oleh DPR," kata peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro, saat dihubungi Republika, kemarin. Dengan tidak seimbangnya partai koalisi pendukung pemerintah dan oposisi, Siti Zuhro menilai penguatan sistem presidensial melalui check and balances akan sulit dilakukan.

Baca Juga

Namun, Siti Zuhro menyebut, bongkar pasang koalisi ini bukan hal baru di Indonesia. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada koalisi saat ini yang berada di bawah pimpinan Joko Widodo selaku presiden terpilih, tetapi pernah terjadi juga sebelumnya saat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden.

"Terjadi ketika zamannya Pak SBY. Demikian juga di Pak Jokowi yang periode sekarang meskipun akhirnya keluar, ada PPP yang tadinya berhadapan. Jadi, bukan hal yang baru," ujar Siti.

Menurut dia, partai politik kerap bersikap pragmatis menjelang penyusunan kabinet. Kondisi politik praktis seperti ini, kata dia, akan selalu menimbulkan kekecewaan, terutama bagi para masyarakat pendukung. Namun, kondisi ini pun terus terulang.

"Jadi, demokrasi kita itu lebih menonjolkan kompetisi kontestasi yang tidak pernah henti, baik secara diam-diam maupun secara eksplisit. Itu yang enggak sehat, menurut saya. Karena apa? Dengan cara-cara itu lalu yang muncul adalah ketidakpastian itu sendiri," ujar dia.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni menilai rencana masuknya partai di luar pendukung Jokowi-Ma'ruf ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi menguntungkan pemerintah Jokowi-Ma'ruf karena akan memperkuat pemerintahan Jokowi karena hampir didukung oleh seluruh partai. "Hal itu penting agar Jokowi bisa menjalankan visi-misi program pemerintahannya selama lima tahun mendatang," ujar Titi, kepada Republika, Ahad (13/10).

Hal itu, menurut dia, telah sesuai dengan tujuan sistem presidensial. Namun, di sisi lain, hal tersebut juga bisa berdampak negatif karena berkurangnya pengawasan dari oposisi. "Oleh karena itu, publik juga perlu melakukan peran pengawasan terhadap pemerintahan mendatang," katanya.

Selain itu, pertemuan-pertemuan elite politik yang terjadi belakangan ini juga memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat bahwa dalam memberikan dukungan partai atau kandidat tertentu tidak perlu berlebihan. Maka, tidak mengherankan jika manuver yang diperlihatkan para elite politik saat ini memunculkan sikap apatis di tengah masyarakat.

"Agar tidak apatis, maka publik harus tetap menjaga nalar mereka, karena kita tidak pernah tahu setelah itu ada agenda politik yang tidak terduga," tutur Titi.

photo
Sabuk Keamanan Bangsa. Ketum PKB Muhaimin Iskandar (kanan) menerima kedatangan Ketum Gerindra Prabowo Subianto di DPP PKB, Jakarta, Senin (14/10/2019).

Titi juga mengatakan, pemilihan menteri sebaiknya dilakukan secara transparan. Itu, menurut dia, penting agar pemerintah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.

Selama ini, masyarakat sering kali berpikiran bahwa pemilihan menteri dilakukan berdasarkan posisi politik para elite. Pengisian menteri dianggap sebagai sesuatu yang transaksional karena kriterianya tidak terbuka kepada publik.

"Saya kira dalam pengisian jabatan menteri perlu ada keterbukaan dari presiden untuk menyampaikan kepada publik soal kriteria dan indikator yang digunakan untuk memilih calon menteri yang akan mengisi posisi-posisi yang diperlukan," kata Titi.

Menurut Titi, di tengah kehidupan bernegara yang dinilainya sedang mengalami banyak kontroversi, harus ada kepekaan dari para elite politik untuk memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Perlu bagi kepemimpinan presiden untuk memberikan pembelajaran politik kepada publik agar menunjukkan tata kelola pemerintahan yang baik. n arif satrio nugroho/febrianto adi saputro/inas widyanuratikah ed: fitiryan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement