Senin 14 Oct 2019 00:50 WIB

Pemukiman di Bekas Laboratorium Teluk Jakarta

Kampung Akuarium dahulu lokasi bekas laboratorium fauna laut di Teluk Jakarta.

Warga beraktifitas di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (3/10/2019).
Foto: Republika
Warga beraktifitas di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (3/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aroma laut tercium begitu kuat saat memasuki sebuah kawasan luas di ujung Kota Jakarta. Warga menyebutnya sebagai "Kampung Akuarium". Dalam struktur administrasi di perkotaan, tidak tercatat penyebutan kampung, tetapi kebiasaan masyarakat turun-temurun memberikan istilah tersebut.

Kampung Akuarium berada di RT 1 dan RT 12 di RW 004, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Kampung Akuarium dengan batas bagian utara Laut Pulau Jawa, bagian timur Pelabuhan Sunda Kelapa, bagian selatan Pasar Hexagon, dan bagian barat Kampung Luar Batang, dengan luas wilayah 10.384 meter persegi.

Kampung Akuarium hanya ditandai dengan papan nama kecil, terpampang kurang jelas saat masuk kawasan itu. Sebuah lapangan kosong yang cukup luas turut menjadi penanda, jika lokasi pernah menjadi pemukiman padat penduduk.

Tercatat puluhan selter atau rumah tinggal sementara dibangun bermodel huruf U, dibagian sisi Utara, Timur, dan Barat dari Kampung Akuarium.

Bukhari, salah seorang warga tertua yang tinggal di Kampung Akuarium sejak tahun 1978 lalu. Dia pertama kali tinggal di Kampung Akuarium bersama dua orang lainnya yakni pegawai Museum Bahari.

“Setelah itu, satu persatu orang datang untuk membangun, puncaknya di tahun 1989-1990,” ungkapnya.

Dia tidak mengetahui mengapa tempat tinggalnya diberi nama Kampung Akuarium. Yang terbayang oleh Bukhari, sisa-sisa kolam ikam ikan ukuran besar yang sudah dihancurkan dan bekas bangunan gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

“Dulu disini hanya ada pasar ikan dan rumah tua yang mulai rubuh. Setelah itu orang mulai berdatangan untuk membangun rumah di sini, untuk orang-orang yang punya istri lebih dari satu atau istri muda,” jelas Bukhari.

Warga lainnya, Topas Juanda, mengakui jika keluarganya tinggal di Kampung Akuarium sejak puluhan tahun lalu. Tidak ada cerita lengkap soal kampung itu, hanya karena orang tua mereka tinggal dan menetap disana, sehingga lokasi itu terus dipertahankan. “Sejak kakek saya, orang tua hingga saya sekarang berumur 33 tahun,” kata Topas.

Terikat aturan

Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR dan PZ) Provinsi DKI Jakarta menjelaskan jika Kampung Akuarium masuk ke dalam zona merah atau zona pemerintah daerah dengan rincian kawasan pemugaran Kota Tua/Sunda Kelapa.

Walau termasuk kawasan pemugaran Kota Tua/Sunda Kelapa, kawasan tersebut dapat dibangun rumah susun umum, asrama, rumah dinas, rumah ibadah, pasar tradisional, pasar induk, pasar/penyaluran grosir, permakaman, SPBU dan SPBG, ruang pertemuan, sarana olahraga dan sendi, sarana transportasi serta sarana lainnya, namun dengan syarat yang harus dipenuhi.

Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah menegaskan jika status daerah itu masuk ke dalam zona merah, artinya boleh digunakan untuk sarana pemerintah dan dapat juga digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Pemukiman padat Kampung Akuarium digusur pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada akhir tahun 2016 lalu saat kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Alasan pengusuran karena kampung itu tidak sesuai peruntukan ruang kota sekaligus untuk revitalisasi cagar budaya. Pemerintah DKI mengklaim warga di Kampung Akuarium berada di atas lahan yang berstatus milik PD Pasar Jaya.

"Sampai sekarang kami tidak tahu alasan kenapa digusur," kata Topas.

Topas mengisahkan penggusuran dilakukan Pemprov DKI jakarta kala itu, tanpa dilakukan sosialisasi. Warga kampung juga mempertanyakan proses penggusuran, karena mereka memiliki akte jual beli dari pemerintah setempat.

"Sertifikat hak milik tidak ada, tetapi kami memiliki pajak bumi bangunan, rekening air dan listrik resmi, serta kami juga membayar pajak," jelas Topas.

Sejarah Kampung Akuarium

Laman Oseanografi LIPI mencatat sejarah Kampung Akuarurium berawal dari 10 Januari 1898. Dimana kala itu, Dr. J. C. Koningsberger diangkat menjadi kepala laboratorium Zoologi Pertanian bagian dari Kebun Raya Bogor milik pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Koningsberger mempunyai perhatian yang sangat luas, tidak saja pada fauna darat tetapi juga pada fauna laut. Penelitian tentang fauna laut kala itu sama sekali belum terjamah.

Koningsberger menemukan lokasi tepat dan cocok untuk mendirikan laboratorium di Teluk Jakarta pada September 1904. Sebidang tanah itu terletak persis di sebelah utara Pasar Ikan, bagian paling selatan Oude Haven Kanal sekarang Pelabuhan Sunda Kelapa dan merupakan muara Sungai Ciliwung.

Pembangunan laboratorium di kawasan Pasar Ikan itu pun dimulai tahun 1904 dan selesai pada Desember 1905. Laboratorium yang dibangun itu merupakan gedung semi-permanen disebut Visscherij Laboratorium te Batvia atau Laboratorium Perikanan di Batavia. Dalam perkembanganya laboratorium itu lebih dikenal Visscherij Station te Batavia atau Stasiun Perikanan Batavia.

Perkembangan selanjutnya di tahun 1922, dimulainya pembangunan laboratorium baru yang lebih permanen. Disamping gedung laboratorium dibangun pula gedung akuarium air laut yang besar. Akuarium itu dibuka untuk masyarakat umum pada tanggal 12 Desember 1923, sebagai akuarium pertama di Indonesia dan di kawasan Asia Tenggara.

Hingga tahun 1960-an, lokasi itu dikenal sebagai Akuarium Pasar Ikan menjadi tujuan wisata yang yang terkenal di Jakarta. Para pengunjung selalu membludak pada hari libur dan lebaran.

Akuarium itu juga diabadikan dalam lagu berjudul Ke Pasar Ikan ciptaan AT Mahmud. Lagu anak-anak itu sangat populer saat itu dengan lirik:

Hari Minggu, Hari Minggu, ke Pasar Ikan

Dengan Ibu, dengan Ayah, beserta Paman

Kulihat ikan, di dalam kolam

Berbisik-bisik, memberi salam

Pada pertengahan tahun 1970-an Pemerintah DKI Jakarta menutup kawasan dan akuarium di Pasar Ikan, dikarenakan rencana pengembangan perluasan kawasan Museum Bahari. Laboratorium kelautan lalu dipindahkan ke kawasan Ancol yang saat ini menjadi Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Saat itu pembangunan di Pasar Ikan tidak jelas dan dan terkatung-katung, hingga seluruh kawasan bekas Akuarim itu kemudian diduduki oleh penduduk dan berkembang menjadi kampung dengan penghunian liar yang dikenal sebagai Kampung Akuarium.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement