Jumat 11 Oct 2019 23:59 WIB

Pelanggaran Hukum Jamak Jadi Pemicu Perceraian di Salatiga

Kesadaran hukum dalam berumah tangga di Salatiga dinilai cukup rendah

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ilustrasi Perceraian
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Perceraian

REPUBLIKA.CO.ID, SALATIGA -- Pelanggaran hukum, baik dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun tindak kriminal lain, masih menjadi salah satu pemicu terjadinya perceraian pasangan suami istri (pasutri) yang jamak terjadi di wilayah Kota Salatiga.

Hal ini disebabkan kesadaran hukum dalam hubungan rumah tangga yang dimiliki pasutri tersebut masih cukup rendah. Sehingga mereka memilih untuk megakhiri hubungan rumah tangga saat pasangan melakukan tindakan kriminal.  

Ketua DPC Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Salatiga, Nurrun Jamaludin mengungkapkan, masih tingginya angka perceraian di Kota Salatiga salah satunya disebabkan oleh rendahnya kesadaran hukum yang dimiliki pasutri. “Rendahnya kesadaran hukum ini acap kali memicu terjadinya pelanggaran- pelanggaran hukum hingga tindakan kriminal, yang akhirnya berujung pada perceraian,” ungkapnya, usai menghadiri pelantikan pengurus DPC APSI Salatiga, yang dilaksanakan di Grand Wahid Hotel, Kota Salatiga, Jumat (11/10).

DPC APSI, jelas Jamaludin, pernah melakukan penelitian terhadap 125 orang responden yang berasal dari pasutri yang bercerai di Kota Salatiga. Berdasar penelitian yang dilakukan tersebut, umumnya responden mengakui jika perceraian tidak baik.

Kendati begitu, mereka tetap memilih untuk bercerai karena ada pelanggaran hukum dalam hubungan rumah tangga. Salah satu pelanggaran hukum yang paling sering terjadi dan menjadi alasan dari perceraian adalah KDRT.

Di lain pihak, pasutri juga memilih untuk mengakhiri hubungan rumah tangga dengan alasan pasangannya telah melakukan pelanggaran hukum seperti kriminal. “Sehingga, akhirnya memilih jalan perceraian,” lanjutnya.

Terkait dengan penelitian ini, Jamaludin mengungkapkan perlu adanya penyadaran. Karena masyarakat tahu ada hukum, ada pelanggaran, tapi tetap dilakukan.

“Padahal dalam agama, perceraian tersebut –sejatinya—dilarang, tetapi masih tetap dilanggar atau dilakukan,” tambah Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga ini. 

Oleh karena itu, masih jelas Jamaludin, dalam waktu dekat ini DPC APSI Salatiga akan menyusun program pelatihan bagi para legal agar pengetahuan hukum yang dimiliki selaras dengan kehidupan sehari- hari.

“Harapannya --melalui program pelatihan ini-- bisa menciptakan harmonisasi dalam bermasyarakat serta keadilan bagi semuanya, khususnya di Kota Salatiga,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua DPW APSI Jawa Tengah, Masrochimin, mengungkapkan organisasinya tidak memiliki perbedaan dengan organisasi advokat yang lain. Yang membedakan hanya persoalan namanya saja.

Kendati mencantumkan syariah, anggota APSI juga memiliki hak beracara --seperti halnya advokat lain—serta melakukan pendampingan dalam lingkup peradilan apa saja (peradilan pada umumnya).

“Maka, APSI yang kini telah memiliki kepengurusan di tujuh kabupaten/ kota di Jawa Tengah jangan dipandang hanya mengurusi soal pengadilan yang berkaitan dengan ekonomi syariah atau dalam pengadilan agama saja,” tegas Masrochimin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement