Kamis 10 Oct 2019 08:06 WIB

Minyak Curah Disetop, Penjual Gorengan: Gimana Mau Nolak?

Banyak pedagang yang menggunakan minyak curah untuk proses produksinya.

Rep: Febryan A/ Red: Friska Yolanda
Seorang pedagang di Pasar Cikurubuk Kota Tasikmalaya menunjukkan minyak goreng curah yang masih dijual bebas di pasaran, Senin (7/10).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Seorang pedagang di Pasar Cikurubuk Kota Tasikmalaya menunjukkan minyak goreng curah yang masih dijual bebas di pasaran, Senin (7/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Kementerian Perdagangan untuk menyetop peredaran minyak goreng dalam bentuk curah mulai 2020 ditanggapi dengan keluh kesah oleh para pedagang. Terutama pedangan gorengan, dimana minyak goreng adalah kebutuhan utama mereka untun bisa berjualan.

Jeni (45 tahun), penjual gorengan di Jalan Pejaten Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, mengaku selama ini menggunakan minyak curah untuk proses produksi jajanannya. Ia pun merasa keberatan dengan rencana pemerintah tersebut. Sebab, harga minyak curah lebih murah dibandingkan minyak kemasan. 

Baca Juga

"Sedikit banyaknya, pasti ngaruh ke omzet," kata Jeni ketika ditemui di gerobak gorengannya, Rabu (9/10).

Jeni mengaku, setiap hari bisa menghabiskan empat kilogram (kg) minyak untuk menggoreng semua bahan baku. "Tentu biaya produksi bertambah setiap harinya sekitar Rp 4.000 hingga Rp. 6.000. Coba kalikan sebulanya," ungkap Jeni yang sudah berjualan gorengan sejak 20 tahun terakhir itu.

Perhitungan Jeni didasarkan harga rata-rata penjualan minyak goreng di pasaran. Minyak goreng curah kini dijual rata-rata di angka Rp 12.000 per kg. Sedangkan minyak kemasan dijual di kisaran Rp 24.000 per dua liter. Adapun satu liter minyak jika dihitung dalam kilogram, maka hanya seberat 0,9 kg.

Meski akan terjadi penambahan biaya produksi, tapi Jeni mengaku tak bisa berbuat banyak jika pemerintah tetap melarang peredaran minyak curah mulai tahun depan. "Kita ikut saja lah. Kita pedagang kecil gimana mau menolak," ucapnya.

Hal serupa juga diutarakan penjual gorengan lainnya, Udin (38). Ia mengaku akan pasrah saja jika keputusan itu benar-benar diterapkan mulai 2020 mendatang.

Udin, yang biasanya menghabiskan lima kg minyak per harinya, mengaku tak terlalu keberatan lantaran sesekali juga menggunakan minyak kemasan untuk proses produksinya. "Kalau pemasok minyak curah tidak datang, kita kadang pakai minyak kemasan juga," ucap Udin yang berjualan di dekat kampus Universitas Nasional, Jakarta Selatan, itu.

Menurut Udin, jika ia nantinya sepenuhnya beralih menggunakan minyak kemasan, maka penurunan omzet tidak akan begitu terasa. "Beda harganya cuma Rp 1.000 sampai 2.000," kata Udin yang sudah berjualan gorengan selama 25 tahun itu.

Sebelumnya, Mendag Enggartiasto Lukita, pada Ahad (6/10) menyatakan akan melarang peredaran minyak goreng dalam bentuk curah mulai Januari 2020 dengan dalih tak sehat dan tak higenis. Sebagai gantinya, minyak goreng kemasan akan dipasarkan secara masif dengan harga yang dijanjikan lebih terjangkau.

Selain tak higenis dalam proses distribusinya, menurut Enggar, proses produksi minyak goreng curah juga rentan dioplos dengan minyak jelantah. Sedangkan konsumen, banyak yang tak bisa membedakan minyak goreng curah dari parbrikan dengan minyak goreng jelantah (minyak goreng bekas pakai) yang dimurnikan warnanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement