Sabtu 05 Oct 2019 14:44 WIB

Takut Jadi Korban, Warga Pendatang di Ilaga Ikut Mengungsi

Warga trauma karena setiap hari selalu mendengar rentetan bunyi letusan senjata.

Kondisi Wamena, Papua pascaricuh ( Ilustrasi)
Foto: AP
Kondisi Wamena, Papua pascaricuh ( Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, TIMIKA -- Ketakutan terhadap aksi kelompok kriminal separatis bersenjata mendorong warga luar Papua mengungsi dari Ilaga, ibu kota Kabupaten Puncak, ke Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, dalam sepekan terakhir. Mereka mengalami trauma. 

"Orang-orang masih pada trauma karena setiap hari selalu mendengar bunyi letusan senjata api. Rata-rata warga pendatang tidak mau bertahan di Ilaga karena takut menjadi korban atau sasaran penembakan," kata Fredy Rombe Sirudu, pengungsi dari Ilagayang pada Sabtu siang tiba di Bandara MozesKilangin, Timika.

Baca Juga

Fredy tiba di Timika bersama 35 warga Ilaga yang berasal dari Tanah Toraja, Sulawesi Selatan. Ia bersama pengungsi Ilaga lainnya kemudian dibawa ke Gedung Tongkonan milik Ikatan Keluarga Toraja (IKT) Mimika di Jalan Sam Ratulangi, Sempan, Timika.

Menurut Fredy yang sehari-hari bekerja sebagai pendamping desa di Kabupaten Puncak, dari Sabtu pagi hingga siang ada 10 penerbangan pesawat perintis dari Bandara Aminggaru Ilaga menuju Bandara Mozes Kilangin Timika untuk mengangkut pengungsi. Pesawat rata-rata mengangkut sembilan hingga 10 pengungsi dalam sekali penerbangan.

Ia menuturkan, jumlah warga luar Papua yang mengungsi dari rumah mereka ke Kantor Komando Rayon Militer, Kepolisian Sektor, markas Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara, dan markas Komando Taktis Korps Brigade Mobildi Ilaga hingga kini masih ratusan. Semuanya ingin segera dievakuasi ke Timika.

Namun layanan penerbangan dari Ilaga ke Timikayang rata-rata menggunakan pesawat jenis Grand Caravan hanya bisa mengangkut 10 sampai 11 orang sekali terbang. Itu pun dengan biaya sewa pesawat beberapa puluh juta rupiah.

"Kalau orang pemerintah (pegawai Pemkab Puncak), rata-rata mereka diangkut dengan pesawat Dabi Air Nusantara milik Pemkab Puncak. Tapi sehari hanya bisa terbang tiga kali dari Ilaga ke Timika," kata Fredy.

"Kalau masyarakat umum harus carter pesawat sendiri dengan biaya sekitar Rp30 juta sampai Rp35 juta sekali terbang. Kami harus patungan bayar ongkos carter pesawat, rata-rata Rp3 juta per penumpang," ia menambahkan.

Menurut dia, warga luar Papua yang selama ini bermukim di Ilaga biasanya bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Puncak. Ada juga yang berdagang, atau membuka usaha. Selain itu ada pula yang menjadi tukang ojek atau buruh bangunan.

Warga luar Papua di Ilaga kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan (Suku Toraja dan Bugis-Makassar. Sebagian lagi berasal dari Maluku dan Nusa Tenggara Timur.

"Kami mau pulang kampung dulu ke Toraja, kalau situasi di Ilaga sudah aman baru kami kembali ke sana. Memang sekarang aparat terus didatangkan ke Ilaga untuk mengamankan masyarakat di sana," tutur Fredy.

Berdasarkan data yang dihimpun Antara di Bandara Mozes Kilangin Timika, sejak 27 September hingga 4 Oktober 2019 jumlah pengungsi asal Wamena dan Ilaga yang tiba di Timika sebanyak 776 orang. Rinciannnya 316 orang dari Wamena dan286 orang dari Ilaga.

Pada Sabtu pagi sebanyak 40 orang pengungsi dari Wamena tiba di Timika menggunakan penerbangan pesawat Hercules TNI AU, dua di antaranya anak-anak.

Para pengungsi Wamena tersebut sebagian ditampung sementara di Gedung Tongkonan milik IKT Mimika dan sebagian lagi ditampung di Sekretariat Kerukunan Keluarga Jawa Bersatu (KKJB) Mimika.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement