Kamis 26 Sep 2019 17:57 WIB

Jurnalis Ikut Terseret dalam Pusaran Kekerasan Oknum Aparat

Sejumlah jurnalis mendapatkan kekerasan dan intimidasi saat meliput demo mahasiswa.

Wartawan yang tergabung dalam Forum Wartawan Sidoarjo (Forwas) menggelar aksi teatrikal di alun-alun Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (26/9/2019).
Foto: Antara/Umarul Faruq
Wartawan yang tergabung dalam Forum Wartawan Sidoarjo (Forwas) menggelar aksi teatrikal di alun-alun Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (26/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Fauziah Mursid, Dessy Suciati Saputri

Sejumlah jurnalis mengaku mendapatkan intimidasi dan kekerasan dari aparat saat melakukan peliputan demonstrasi mahasiswa beberapa hari terakhir. Jurnalis pun sempat merekam tindakan represif aparat pada demonstran.

Baca Juga

Pada Rabu (25/9) malam, sejumlah jurnalis sempat merekam kegiatan penangkapan seorang pendemo saat terjadi bentrok dengan aparat di Jalan Gatot Subroto, tepatnya di sekitar Resto Pulau Dua, sisi tenggara pagar utama kompleks parlemen. Para jurnalis juga merekam tindakan represif aparat yang memukuli dan menendang secara ramai-ramai pria yang ditangkap.

Namun, sejumlah jurnalis, termasuk jurnalis Republika.co.id dipaksa menghapus hasil reportasenya. Ketika dijelaskan soal UU Pers, aparat tak mau mendengar.

"Kami juga lelah," ujar personel kepolisian tersebut.

Di tempat yang sama, reporter Narasi TV, Vany Fitria juga mengalami kekerasan fisik oleh aparat Brimob. Tidak hanya diintimidasi, telepon selulernya pun dirampas. Peristiwa terjadi saat Vany mengetahui aparat kepolisian yang berkumpul di depan Resto Pulau Dua sedang berusaha menghalau massa aksi yang berada di sekitar fly-over Bendungan Hilir.

Seorang anggota Brimob mendekati Vany dan memintanya untuk tidak mengambil gambar. Beberapa detik kemudian, dari arah belakang, seorang anggota Brimob yang lain memukul badan Vany dengan tameng hingga ia nyaris terjengkang. Saat berusaha berdiri dengan stabil kembali, anggota Brimob yang memukul dengan tameng itu mengambil telepon seluler Vany dan kemudian membantingnya ke trotoar.

Anggota Brimob yang sama kemudian mengambil telepon seluler tersebut dan hendak membantingnya kembali. Namun, anggota Brimob yang lain datang mengambil telepon seluler tersebut dan memasukannya ke dalam sakunya sendiri.

Vany sudah mengatakan bahwa dirinya adalah wartawan. Kartu pers pun ia tunjukkan. Namun, mereka bukan hanya tidak peduli, tapi juga melontarkan kalimat-kalimat yang intimidatif. Vany sudah menawarkan diri untuk menghapus rekaman (footage) asalkan telepon seluler miliknya dikembalikan, namun permintaan itu diabaikan.

Sehari sebelumnya, pada malam 24 September sekitar pukul 22.00, wartawan Narasi TV yang lain, Harfin Naqsyabandi, juga dipaksa aparat kepolisian (tepatnya dari Krimum Polda Metro Jaya) untuk memformat ulang telepon selulernya karena merekam adegan kepolisian mengeroyok seorang pelaku aksi. Harfin menolak permintaan memformat ulang dan akhirnya hanya menghapus dua video adegan pengeroyokan.

Pemimpin Redaksi Narasi TV, Zen RS menuntut Kapolri mematuhi Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017 pasal 4 ayat 1, yang menyebutkan para pihak berkoordinasi terkait perlindungan kemerdekaan pers dalam pelaksanaan tugas di bidang pers sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

"Meminta Kapolri memerintahkan anak buahnya di lapangan tidak menghalangi kerja jurnalis yang dilindungi UU Pers," ujar Zen dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/9).

AJI Jakarta memiliki daftar jurnalis yang mengalami kekerasan. Salah satunya, reporter Kompas Nibras Nada Nailufar mengalami intimidasi saat merekam polisi melakukan kekerasan terhadap seseorang di kawasan Jakarta Convention Center, Selasa (24/9) malam. Polisi juga sempat meminta Nibras untuk menghapus rekaman video kekerasan tersebut.

Polisi juga melakukan kekerasan terhadap jurnalis IDN Times Vanny El Rahman. Ia dipukul dan diminta menghapus video rekamannya tentang kekerasan yang dilakukan polisi terhadap demonstran di sekitar fly-over Slipi, Jakarta.

Selain itu, polisi juga menganiaya jurnalis Katadata, Tri Kurnia Yunianto. Tri dikeroyok, dipukul dan ditendang oleh aparat dari kesatuan Brimob Polri. Meski Kurnia telah menunjukkan ID Pers yang menggantung di leher dan menjelaskan sedang melakukan liputan, pelaku kekerasan tidak menghiraukan dan tetap melakukan penganiayaan.

Polisi juga merampas HP Kurnia dan menghapus video yang terakhir kali direkamnya. Video itu berisi rekaman polisi membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata.

Kekerasan juga dilakukan massa aksi terhadap reporter Metro TV Febrian Ahmad. Massa memukuli kaca mobil Metro TV menggunakan bambu dan melempari badan mobil dengan batu. Akibat kekerasan ini, kaca mobil Metro TV bagian depan dan belakang, serta kaca jendela pecah semua.

Begitu halnya di Makassar, Sulawesi Selatan, tiga jurnalis yakni Antara, Inikata.com dan Makassar Today yang dikeroyok anggota kepolisian karena mengabadikan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian kepada massa aksi.

Menyikapi serentetan kekerasan terhadap jurnalis tersebut, Komite Keselamatan Jurnalis mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan massa aksi.  "Terlebih kekerasan yang dilakukan anggota Polri tersebut terekam jelas dalam video-video yang dimiliki jurnalis," kata Sasmito Madrim, Juru Bicara Komite Keselamatan Jurnalis.

Anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon yang mengetahui insiden kekerasan terhadap jurnalis langsung menghubungi Mabes Polri terkait kejadian intimidasi itu. Effendi mencoba menghubungi Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono, namun tak direspons. Ia pun menghubungi Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Pol Listy Sigit Prabowo.

"Kita juga tidak mentolerir itu. Kita boleh mendukung penegak hukum terhadap ketertiban masyarakat. Terapi tidak boleh menghalangi kerja jurnalistik, itu kan di UU ada," ujar Efendi Simbolon di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Kamis (26/9).

Effendi pun menyatakan, para atasan polisi yang melakukan kekerasan pada jurnalis akan ikut bertanggung jawab. "Biasanya dua tingkat di atasnya juga ikut bertanggung jawab," ucap Effendi.

Menanggapi teguran Effendi, Sigit pun memastikan akan menindaklanjuti tindakan kekerasan aparat itu. Ia menyatakan akan menghubungi pejabat kepolisian di tempat kekerasan pada para jurnalis terjadi.

"Nanti saya sampaikan ke pak kapolda, dan kapolres untuk mengatur supaya di lapangan jangan sampai terjadi lagi benturan khususnya kawan-kawan wartawan dengan anggota. Jadi pengaturannya supaya jelas di lapangan itu seperti apa nanti saya hubungi kapolda," ujar Sigit.

Sigit juga mempersilakan para jurnalis untuk berkomunikasi dengan pihak kepolisian bilamana intimidasi terjadi."Sama sama menjaga,  agar tidak ada insiden di lapangan. Saya akan teruskan ke kapolda dan kapolres," ujar dia.

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menegaskan, aparat keamanan akan memberikan sanksi terhadap personelnya yang melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi demonstrasi. "Mestinya nggak boleh terjadi. (Sanksi) Pasti," ujar Moeldoko di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (25/9).

Ia menyampaikan akan ada evaluasi terkait tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para jurnalis yang tengah bertugas dalam meliput aksi demonstrasi. Presiden sendiri, kata dia, meminta agar aparat keamanan bertindak profesional dan proporsional.

"Proporsional adalah terukur, profesional adalah bagaimana prajurit itu bisa melaksanakan tahapan-tahapan sesuai dengan SOP. Terhadap hal-hal yang di luar itu ditanyakan tadi, akan kita evaluasi, di mana letaknya titik krusialnya di mana sehingga terjadi peristiwa seperti itu," jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement