REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Campaign Manager Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri, menyebut polisi bersikap diskriminatif saat mengamankan demonstrasi mahasiswa pada Selasa (24/9). Hal ini dikatakannya berbeda jauh saat polisi mengamankan aksi massa yang menolak hasil pilpres pada 21-22 Mei lalu.
"Kemarin kami turun ke jalan untuk memantau situasi penegakan hukum dan langkah yang dilakukan pihak kepolisian. Terutama, ini terlihat dari langkah Kapolres Jakarta Pusat Kombes Pol Harry Kurniawan, yang gagal bernegosiasi dengan tiga mobil komando para mahasiswa," ujar Puri kepada wartawan di Kantor LBH, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (25/9).
Puri mengkritisi sikap polisi di lapangan yang tidak sejalan dengan beberapa aturan di tubuh kepolisian untuk penanganan aksi massa. Seharusnya, sesuai dengan standar warna tanda ekskalasi massa, status warna hijau tidak bisa langsung dinaikkan ke status warna merah.
Sebab, ada status warna kuning yang harus dilalui terlebih dulu sebagai tanda pengelolaan massa dengan cara bernegosiasi. Faktanya, lanjut Puri, polisi langsung menaikkan status dari hijau ke merah.
"Jarak hijau ke merah ketika demonstran membatalkan siaran pers kemudian ekskalasi memburuk, Pak Kapolres Harry Kurniawan langsung ambil langkah warna merah dengan penyemprotan water canyon dan gas air mata," ungkap Puri.
Kondisi ini dia sebut sangat berbeda dengan prosedur penanganan massa pada demonstrasi menolak hasil pilpres pada 21-22 Mei lalu. Puri mempertanyakan standar apa yang digunakan oleh Kapolres Jakarta Pusat untuk memutuskan status hijau meningkat ke status merah.
"Aksinya cukup jomplang dengan aksi 21-22 Mei 2019. Standarnya beda. Kapolres Jakarta Pusat mampu bernegosiasi kepada para demonstran yang ada dalam tiga mobil komando. Tidak ada ucapan persuasif yangdilakukan kapolres Harry, " tambah Puri.