Kamis 19 Sep 2019 14:33 WIB

Pimpinan Baru KPK: Kemungkinan Kami akan Sulit OTT

Hal paling berat buat KPK adalah tak jadi penyidik dan penuntut serta izin sadap.

Calon pimpinan KPK Nurul Ghufron menjalani uji kepatutan dan kelayakan di ruang rapat Komisi III DPR RI, Jakarta, Rabu (11/9/2019) malam.
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Calon pimpinan KPK Nurul Ghufron menjalani uji kepatutan dan kelayakan di ruang rapat Komisi III DPR RI, Jakarta, Rabu (11/9/2019) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih periode 2019-2023 Nurul Ghufron mengaku siap menjalankan Undang-Undang KPK yang baru. Ia tidak keberatan dengan pengesahan revisi UU tersebut karena hal itu merupakan kebijakan pemerintah dengan DPR RI.

"Itu merupakan kebijakan negara yang dibentuk Presiden dan DPR, sehingga saya dan pimpinan KPK lainnya akan menjalankannya dan menegakkan aturan itu," katanya saat ditemui di Kampus Universitas Jember, Jawa Timur, Kamis.

Baca Juga

Menurutnya, ada tujuh poin yang berubah dalam revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun ada dua poin yang dinilai sangat berat bagi lembaga antirasuah itu.

 

"Yang paling berat adalah KPK tidak lagi sebagai penyidik dan penuntut, kemudian penyadapan yang dilakukan oleh KPK harus seizin dewan pengawas, sehingga penegakan hukum dikembalikan pada prosedur pada umumnya," tuturnya.

 

 

 

Dalam UU KPK sebelumnya, lanjut dia, KPK tidak perlu berkoordinasi dengan lembaga lain saat melakukan penyadapan karena KPK punya kewenangan khusus.  Namun saat ini harus mendapatkan izin dari dewan pengawas.

"Kemungkinan kami agak kesulitan untuk melakukan operasi tangkap tangan (OTT) karena penyadapan harus meminta izin, sehingga potensi kebocoran sebelum OTT juga bisa terjadi," ucap Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu.

Ghufron menjelaskan, perubahan UU KPK tersebut tentu berdampak pada konsekuensi perubahan paradigma kinerja KPK ke depan. Dengan begitu masyarakat juga harus memaklumi hal tersebut karena pimpinan KPK periode 2019-2023 akan menegakkan UU KPK yang baru tersebut.

photo
Anggota Wadah Pegawai KPK membawa nisan bertuliskan RIP KPK saat melakukan aksi di gedung KPK Jakarta, Selasa (17/9/2019).

Sementara pengamat hukum Universitas Airlangga Surabaya Herlambang P. Wiratraman mengatakan, revisi UU KPK tersebut merupakan bentuk pelemahan lembaga antirasuah, bahkan menunjukkan kemunduran upaya pemberantasan korupsi yang seharusnya menjadi semangat, sekaligus anak kandung reformasi.

Ada tujuh poin perubahan yang telah disepakati dalam revisi UU KPK, yakni pembentukan dewan pengawas; kewenangan SP3 dan penghentian penuntutan; penyadapan harus seizin dewan pengawas, seluruh pegawai KPK adalah ASN, kedudukan KPK dalam rumpun eksekutif, koordinasi kelembagaan KPK dengan lembaga lain, dan mekanisme penyitaan dan penggeledahan.

"Kami selaku akademisi tidak menginginkan korupsi membudaya di negeri ini karena jelas akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kami menolak segala bentuk pelemahan terhadap KPK sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi," ujarnya.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement