REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Arif Satrio Nugroho, Sapto Andika Candra, Antara
Kalangan masyarakat sipil tengah menyiapkan amunisi untuk menggugat Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang baru saja direvisi oleh DPR dan pemerintah. Tidak hanya uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), UU KPK versi revisi juga akan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Ada tiga langkah ya, satu ke PTUN mempermasalahkan pilihan presiden menunjuk Menkumham dan Menpan-RB) membahas UU KPK," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari di Jakarta, Kamis (19/9).
Feri menerangkan, gugatan ke PTUN dilakukan mengingat Surat Presiden (Surpres) yang hanya menunjuk menteri dalam pembahasan revisi UU itu tanpa melibatkan KPK. Menurutnya, KPK seharusnya dilibatkan langsung mengingat pembahasan UU berkaitan langsung dengan lembaga antirasuah tersebut.
"Kenapa tidak ditunjuk KPK-nya membahas, nah itu akan diuji di PTUN soal tindakan Presiden," kata Feri lagi.
Feri mengatakan, adanya kecacatan dalam prosedural pembahasan revisi UU KPK juga dapat diuji materikan ke PTUN atau ke MK. Dia menjelaskan, pembahasan revisi tidak melalui Prolegnas prioritas dan tidak diputuskan secara forum di parlemen.
Dia berpendapat, pembahasan revisi UU KPK artinya telah melanggar prosedural. Sehingga, menurutnya, pelanggaran prosedur yang tidak sesuai dengan konstitusi itu akan diuji ke MK.
"Nah itu yang bakal dijalani lebih dulu, PTUN kemudian uji formil di MK soal prosedur yang salah lalu nanti soal substansi. Kita lihat lah hasil uji formil, kalau kemudian hasil uji formil negatif, disahkan oleh MK, maka prosedurnya kan dibenarkan oleh MK, maka baru kita uji substansinya, materinya ke MK," katanya.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta masyarakat mengawal proses uji materi hasil revisi UU KPK. ICW dan sejumlah elemen masyarakat berencana untuk mengajukan uji materi hasil revisi UU KPK di MK.
"Judicial review pasti, kita akan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhan di Jakarta, Rabu (18/9).
Kurnia mengatakan, dalil-dalil yang disampaikan ke MK nantinya mengenai sejumlah poin yang dinilai melemahkan KPK dan bertentangan hukum. Misalnya, keberadaan Dewan Pengawas, izin penyadapan, serta wewenang menerbitkan surat perintah penghentian perkara (SP3).
Kurnia menjelaskan, tentang sejumlah poin tersebut, salah satunya mengenai keberadaan Dewan Pengawas. Menurut dia, KPK selama ini telah memiliki sistem pengawasan baik dari internal maupun eksternal.
Ia mengatakan, pengawasan dari internal dilakukan oleh Deputi Pengawas Internal dan pengaduan masyarakat, yang merupakan salah satu kedeputian yang ada di KPK. Dia mengatakan, deputi tersebut telah menjalankan kinerja pengawasan dengan baik.
"Jangankan pegawai, dua komisioner KPK, Saut Situmorang karena pernyataannya terkait dengan organisasi kemahasiswaan dan Abraham Samad karena bocornya sprindik salah satu tersangka kasus korupsi, dua orang ini pernah dijatuhi sanksi etik di internal KPK," kata dia.
Sementara untuk pengawasan eksternal, telah dijalankan oleh tiga institusi, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengawasi keuangan, DPR yang mengawasi kinerja. DPR secara berkala juga menerima laporan mengenai kinerja KPK.
Selanjutnya mengenai penyadapan, Kurnia menilai, tindakan penyadapan yang dilakukan KPK selama ini sah secara hukum, sebagaimana hasil putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010. Selain itu, penyadapan yang dilakukan oleh KPK selama ini terbukti sukses menjaring koruptor, lewat operasi tangkap tangan.
"KPK sudah melakukan tangkap tangan 123 kali, dengan menetapkan tersangka 432 orang. 432 orang yang masuk persidangan semuanya terbukti bersalah. Penyadapan menjadi alat bukti kuat di persidangan," ucap dia.
Adapun, poin mengenai kewenangan KPK menerbitkan SP3, Kurnia mengatakan hal tersebut bertentangan dengan putusan MK yang dikeluarkan pada 2003, 2006, dan 2010. Dalam putusan itu, disebutkan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 agar lembaga antirasuah itu lebih berhati-hati untuk mengonstruksi perkara yang nantinya dibawa ke persidangan.
"Jadi, memang benar itu semua bertentangan dengan hukum, sehingga jalur konstitusionalnya adalah uji materi ke Mahkamah Konstitusi," ucap Kurnia.
Saat ini, ICW masih mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan, untuk selanjutnya secara resmi mengajukan hak uji materi ke MK. "Secepatnya akan kita ajukan. Kita masih mengumpulkan bukti-bukti dan juga masih membaca lebih jauh tentang dalil-dalil yang akan kita sampaikan nanti, sembari juga kita melihat dan mengecek teman-teman lain juga sedang mempersiapkan hal yang sama," kata Kurnia.
Singkatnya Pembahasan Revisi UU KPK
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Mahesa mempersilakan masyarakat untuk mengajukan judicial review revisi UU KPK ke MK. "Ya gugat saja ke judicial review bahwa ini ilegal. Gitu saja. Gerindra mendukung," kata Desmond, Selasa (17/9).
Istana Kepresidenan juga tak mempermasalahkan keinginan sejumlah pihak mengajukan uji materi atas pengesahan revisi UU KPK ke MK. Kepala Staf Presiden Moeldoko menyebutkan, pengajuan uji materi merupakan hak publik dan pemerintah tidak ada wewenang membatasinya.
"Tapi yang paling penting, proses politik harus dilihat secara jernih supaya masyarakat tidak salah dalam melihat. Kalau nanti salah melihat, dari kacamata yang berbeda maka yang disalahkan hanya presiden, hanya pemerintah, ini nggak fair," kata Moeldoko di kantornya, Selasa (17/9).
DPR memang bekerja sangat singkat dalam merevisi UU KPK ini (lihat infografis). Baru dua kali melakukan pembahasan di tingkat panitia kerja dan rapat kerja, DPR resmi mengetok palu mengesahkan RUU KPK menjadi UU pada rapat paripurna kesembilan Masa Persidangan I 2019-2020, pada Selasa (17/9).
"Ya saya pikir ini udah final ya, apa yang dihasilkan oleh DPR dalam sebuah proses panjang untuk melakukan revisi UU KPK. Jadi walau apa itu, kritik dan masukan, dan seterusnya pada akhirnya revisi sekarang ini sudah selesai," kata Moeldoko.