Rabu 18 Sep 2019 01:45 WIB

Revisi UU KPK Cara Jadikan Pidana Korupsi Sebagai Delik Umum

Tindakan ini menempatkan penegakan hukum pidana korupsi dalam pendulum terbalik.

Rep: Ali Mansur/ Red: Friska Yolanda
Anggota wadah pegawai KPK bersama Koalisi Masyarakat sipil antikorupsi melakukan aksi
Foto: Republika/Prayogi
Anggota wadah pegawai KPK bersama Koalisi Masyarakat sipil antikorupsi melakukan aksi "Pemakaman KPK" di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Akhiar Salmi menjelaskan konsistensi sikapnya untuk menghentikan pelemahan terhadap pemberantasan korupsi baik di revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun RKUHP. Menurutnya, alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 terdapat cita-cita negara. 

"Cita-cita tersebut dapat dicapai melalui pembangunan di segala bidang. Pembangunan hukum menjadi salah satu variablenya," ungkap Akhiar Salmi saat diskusi di ruang rapat guru besar dan Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Selasa (17/9).

Baca Juga

Oleh karenanya, kata Akhiar pembangunan hukum harus dilakukan dengan seksama. Masih berkaitan dalam konteks dengan isu pelemahan penindakan korupsi, ia jugamengkritisi RKUHP yang sedang dibahas oleh DPR RI. Akhiar menilai bahwa RKUHP lebih mengarah pada suatu bentuk kompilasi karena tidak ada sistem azas yang terpadu yang tercermin dalam batang tubuh. 

"Berusaha dimasukkannya peraturan tentang korupsi dalam RKUHP yang membuat tindak pidana korupsi kembali menjadi delik umum," tegasnya.

Selain itu, lanjut Akhiar, tindakan ini menempatkan penegakan tindak pidana korupsi dalam “pendulum terbalik” dari yang sebelumnya menghantam koruptor menjadi menghantam lembaga anti korupsi. 

Revisi UU KPK sendiri, telah sah menjadi Undang-Undang. Pengesahan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dan dihadiri 102 anggota DPR RI berdasarkan hitung kepala, Selasa (17/9). Ada dua fraksi yang tidak setuju yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra. Kedua fraksi itu memberikan catatan terkait tak setujunya keberadaan dewan pengawas yang dipilih langsung presiden tanpa adanya fit and proper test. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement