REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Nama Kepala Polda Sumatra Selatan Irjen Firli Bahuri semakin disorot ketika Komisi III DPR menetapkannya sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih. Keberadaan Firli dalam kontestasi pimpinan KPK periode 2019-2023 telah menjadi kontroversi karena dugaan keterlibatannya dalam sejumlah pelanggaran di KPK, mulai dari masalah kode etik hingga gratifikasi.
Firli sendiri mengaku tidak ada beban dalam menakhodai KPK ke depan. Sebab, ia merasa tak punya musuh dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Ia mengaku, semua yang ada di KPK merupakan koleganya.
"Saya tidak ada musuh, semua teman untuk bekerja secara profesional," ujar Firli kepada Republika, Ahad (15/9).
Ia mengatakan, semua pihak yang ada di KPK memiliki tujuan yang sama, yakni pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, ia mengaku telah menyampaikan, dalam mencapai tujuan itu, ia akan selalu mengutamakan kebersamaan.
"Jangan ditanyakan dari mana asal-usulmu, tapi yang perlu diingat apa yang Anda, kita, lakukan. Saya berpendapat dan saya sampaikan di komisi III, I don't have enemy (saya tidak punya musuh), all is my friends (semua adalah teman saya). Semua kolega saya)," kata dia.
Firli dipilih dalam voting di Komisi III DPR pada Jumat (23/9), dini hari. Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin mengumumkan, Firli terpilih berdasarkan kesepakatan bersama. Sementara itu, empat komisioner KPK terpilih adalah hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar, Nawawi Pomolango; mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lili Pintauli Siregar; Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Nurul Ghufron; dan komisioner KPK, Alexander Marwata.
Terpilihnya Firli menimbulkan resistansi di KPK. Hal itu juga menjadi salah satu alasan tiga pimpinan KPK menyerahkan kembali mandat kepada Presiden Joko Widodo pada Jumat lalu.
Secara kelembagaan, KPK sendiri telah mengumumkan Firli sebagai pelanggar kode etik ketika menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. Hal itu diumumkan oleh Wakil Ketua KPK Saut Situmorang sehari sebelum Komisi III DPR memilihnya. KPK juga telah mengirim surat pemberitahuan rekam jejak Firli kepada komisi III. Namun, Firli selalu membantahnya, baik saat proses seleksi di panitia seleksi maupun di DPR.
Mantan komisioner KPK Bambang Widjojanto menilai, pemilihan Firli sebagai upaya menghancurkan KPK secara perlahan. "Calon yang oleh KPK dituduh nirintegritas dan tak mampu mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi KPK, justru sengaja dipilih jadi komisioner KPK oleh parlemen setelah diusulkan presiden," ujar Bambang.
Komisioner KPK terpilih, Lili Pintauli Siregar berpendapat, jika Firli terbukti melakukan pelanggaran kode etik, panitia seleksi calon pimpinan KPK pasti menjadikannya bahan pertimbangan. Sebab, pelanggaran kode etik berat sulit disembunyikan. Menuding Firli melanggar kode etik, kata dia, memerlukan bukti yang kuat.
"Kita harus melihat putusan seperti apa, buktinya seperti apa. Tinggal dilihat saja dari koridor itu," ujar Lili.
Status Firli
Terkait posisi Firli yang masih aktif di kepolisian, anggota DPR dari Fraksi Partai NasDem Zulfan Lindan menegaskan, Firli harus berhenti sebagai jenderal polisi aktif setelah dilantik. "Ya nanti dia akhirnya pensiun, otomatis. Ketika jadi komisioner KPK aktif, dia harus berhenti kalau tidak khawatir bakal ada konflik kepentingan. Dia harus berhenti jadi jenderal aktif dan sebagai kapolda," tegas Zulfan, Sabtu (14/9).
Namun, Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, Polri tak mengharuskan Firli mundur sebagai anggota kepolisian. Status Firli tetap dapat sebagai anggota kepolisian meski harus menjabat peran baru di KPK. “Mundur itu kalau secara personal dibolehkan, tetapi kalau mengacu aturan, itu tidak diharuskan (mundur),” kata Dedi.
Hari ini, DPR akan menggelar rapat paripurna untuk menyetujui lima komisioner tersebut. Setelah itu, kelimanya tinggal menunggu pelantikan. Untuk diketahui, pimpinan KPK periode saat ini akan berakhir pada 20 Desember 2019.
(ed: ilham tirta)