REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konsitutusi (MK) Mahfud MD menilai, masalah revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya terletak pada prosedurnya saja. Sebab menurut Mahfud, dari sisi materinya banyak yang justru dianggapnya bagus.
"Saya kira hanya di situ masalahnya (prosedur). Kalau materinya banyak yang bagus kok. Saya bicara prosedurnya saja, tetapi pendapat masyarakat sipil juga banyak yang bagus," kata Mahfud saat memberikan pernyataan terkait KPK di Yogyakarta, Ahad (16/9).
Materi RUU KPK, menurut Mahfud, dapat didiskusikan dan diperdebatkan di DPR RI untuk memilah mana yang baik dan yang tidak baik. Pemerintah maupun masyarakat sipil, sama-sama tak menginginkan KPK dilemahkan.
"Ide-idenya bisa didiskusikan. Semua mengandung segi-segi kebenaran, yang sana benar yang sini benar, cari titik tengah yang sama-sama benar yang enak di bagian mana. Inilah perlunya hidup bernegara dan berhukum," ujarnya.
Mahfud mengatakan, dirinya sejak lama menjadi pendukung KPK. Saat KPK hendak dilemahkan berulang kali melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), dirinya pun mengaku berulang kali pasang badan untuk membela KPK. Kendati demikian, menurutnya, dirinya juga perlu melihat secara objektif bahwa ada hal-hal yang mungkin perlu diperbaiki di tubuh lembaga antirasuah itu.
"Saya pendukung KPK sejak dulu, 12 kali KPK mau dihantam melalui pengajuan di Mahkamah Konstitusi (MK), saya bela terus, sampai menang terus. Tetapi kita juga lihat secara objektif, ada hal-hal yang mungkin perlu diperbaiki," katanya.
Beberapa poin draf RUU KPK yang disetujui presiden, yakni keberadaan Dewan Pengawas KPK. Poin itu, menurut Mahfud cukup bagus, kendati demikian harus didiskusikan dengan matang siapa yang akan menjadi pengawasnya.
Menurutnya, KPK memang harus diawasi karena terkadang komisioner KPK ada yang tidak tahu tentang adanya operasi tangkap tangan (OTT). Sementara harus ada yang bertanggung jawab terhadap OTT KPK.
"Itu pernyataan si Alexander Marwata, 'saya tidak tahu, tiba-tiba ada OTT tapi karena komisioner ya harus mengumumkan'. Nah sekarang mungkin itu benar, itu bagus, mungkin itu efektif tetapi mungkin agar lebih bagus dan lebih bertanggung jawab kalau ada dewan pengawas," kata Mahfud.
Mahfud melanjutkan, untuk menentukan siapa pengawas KPK perlu didiskusikan dengan matang dan tidak berburu-buru. Untuk menentukannya, perlu memanfaatkan waktu pembahasan RUU yang tersedia, yakni 60 hari dengan mendengarkan pendapat publik, serta studi ke berbagai kampus.
"Ini masalah pro-justitia, masa yang mengawasi bukan pro-justitia, tidak punya hak memeriksa perkara tiba-tiba melarang orang memproses perkara. Ini yang harus kita diskusikan," jelasnya.
Selanjutnya, ia juga sependapat dengan penerapan kewenangan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk KPK. Hal itu mengacu adanya tersangka yang tak kunjung diputuskan kepastian status hukumnya oleh KPK, bahkan hingga yang bersangkutan meninggal dunia.
"Masa orang (jadi) tersangka terus tanpa jelas nasibnya, sampai mati jadi tersangka, enggak boleh dicabut karena terlanjur ditetapkan tersangka lalu buktinya enggak ada," katanya.
Berikutnya, mengenai pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN), yakni pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K), Mahfud menilai hal itu tidak perlu buru-buru ditolak. Sebab, Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) pegawai-pegawai yang bukan hakim agung maupun hakim konstitusi juga seluruhnya berstatus ASN.
"Presiden kankan bagus. Boleh orang independen tapi independen inipun harus ASN, artinya masuk ke proses pelembagaan. Kelembagaan masuk kan tidak apa-apa, tapi tetap independen," kata dia.
Meski begitu, berdasarkan prosedur yang ada, menurut dia, RUU KPK sebaiknya ditunda pembahasannya hingga periode baru yang akan datang. Ia menyangsikan, DPR RI Periode 2014-2019 dapat membahas secara optimal mengingat masa kerja mereka akan segera berakhir pada 1 Oktober 2019.
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Perundang-Undangan, DPR RI harus melakukan dengar pendapat publik, RUU harus masuk Prolegnas, dilanjutkan pandangan umum di fraksi-fraksi lalu presiden juga diberi waktu 60 hari untuk membahasnya.
"Kalau semua berjalan normal itu cacat formal, itu bisa dibatalkan oleh MK. Kalau cacat formal ya, saya pernah membatalkan yang seperti itu, tapi cacat formal atau tidak, itu kalau jadi perkara di MK, nanti yang menilai MK bukan saya di sini," kata Mahfud.