Jumat 13 Sep 2019 12:47 WIB

ICW Ungkap Tiga Catatan Negatif Pemilihan Pimpinan KPK

Pimpinan KPK terpilih dinilai hanya sesuai selera politik Komisi III DPR RI.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Nur Aini
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana
Foto: Republika TV/Muhammad Rizki Triyana
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruoption Watch (ICW) menyatakan pemilihan Pimpinan KPK dan Ketua KPK oleh Komisi III DPR RI berakhir anti-klimaks. Komisi III DPR RI sudah mengumumkan lima formasi pimpinan KPK periode 2019-2023. Kelima pimpinan KPK yang terpilih melalui voting yakni Firli Bahuri, Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli, dan Nurul Ghufron. 

"Sebagaimana yang telah diprediksi sejak awal, Komisi III DPR RI akan memilih calon Pimpinan KPK yang sesuai dengan ‘selera politik’ mereka, meskipun hal itu harus dengan mengabaikan berbagai catatan negatif terkait dengan calon Pimpinan KPK tertentu," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya, Jumat (13/9).

Baca Juga

Sejatinya, kata Kurnia, sinyal komposisi pimpinan KPK yang baru saja terpilih sudah menguat sejak di Panitia Seleksi Capim KPK. Artinya, proses yang terjadi di Pansel Capim KPK, termasuk sikap politik Presiden Jokowi kemarin, dengan apa yang terjadi di DPR RI adalah sebuah proses yang seirama seolah menjadi bagian dari rencana besar. 

"Dengan kondisi seperti hari ini, pemberantasan korupsi di Indonesia kian menjauh dari harapan awalnya, yakni menciptakan pemerintahan yang sepenuhnya bersih dan bebas dari KKN," tutur Kurnia.

Lebih lanjut, ia menyatakan, setidaknya ada tiga isu besar jika melihat komposisi Pimpinan KPK terpilih. Pertama, terkait rekam jejak buruk di masa lalu. Salah seorang figur yang dipilih oleh DPR merupakan pelanggar kode etik, hal itu diambil berdasarkan konferensi pers KPK beberapa waktu lalu. Tak hanya itu, bahkan KPK telah membeberkan terkait pertemuan yang bersangkutan dengan salah seorang tokoh politik. 

Kedua, kata dia, masih terdapat Pimpinan KPK terpilih yang tidak patuh dalam pelaporan LHKPN di KPK. Padahal itu merupakan mandat langsung dari UU No 28 Tahun 1999 dan Peraturan KPK No 07 Tahun 2016. Akan tetapi, persoalan itu terlewat begitu saja pada setiap tahapan seleksi. 

Ketiga, tidak mengakomodasi masukan dari masyarakat. Sedari awal berbagai elemen masyarakat, organisasi, serta tokoh sudah mengungkapkan bahwa ada persoalan serius pada seleksi Pimpinan KPK kali ini. 

"Mulai dari Ibu Shinta Wahid, Buya Syafii Maarif, Romo Magnis, Romo Benny, Pimpinan Muhammadiyah, Prof Mahfud MD, dan puluhan Guru Besar dari berbagai universitas di Indonesia. Akan tetapi masukan tersebut juga tidak diakomodir, baik oleh Pansel, Presiden, maupun DPR," ujar Kurnia.

Sehingga ICW menilai dapat dikatakan bahwa seleksi Pimpinan KPK kali ini hanya dijadikan urusan segelintir elite politik, tanpa melibatkan masyarakat luas. Apalagi kemudian, langkah pararel DPR RI dan Pemerintah adalah dengan merevisi UU KPK melalui jalur cepat, di mana masukan dari berbagai elemen masyarakat tidak didengar sama sekali. 

Selain itu, seluruh calon Pimpinan KPK juga sangat terikat dengan komitmen menyetujui revisi, sebagai syarat untuk terpilih sebagai pimpinan KPK. Para calon pimpinan KPK diminta untuk menandatangani kontrak politik saat fit and proper test  yang berkaitan dengan persetujuan revisi UU KPK. 

"Keadaan yang sangat tidak ideal ini tentu membawa dampak langsung bagi agenda pemberantasan korupsi. Namun demikian, kita sebagai elemen bangsa yang masih dan terus perduli dengan upaya perbaikan, pembenahan dan upaya melawan korupsi tidak boleh putus asa, karena apa yang kita lakukan selama ini telah membawa manfaat besar bagi bangsa ini," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement