Rabu 11 Sep 2019 19:00 WIB

Habibie, Putra Indonesia yang Menaklukkan Eropa

BJ Habibie salah satu putra bangsa yang dihormati dunia.

Rep: Febryan. A/ Red: Karta Raharja Ucu
FOTO DOKUMENTASI. Presiden ketiga RI BJ Habibie melambaikan tangan saat akan menghadiri Sidang Tahunan MPR Tahun 2015 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2015).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
FOTO DOKUMENTASI. Presiden ketiga RI BJ Habibie melambaikan tangan saat akan menghadiri Sidang Tahunan MPR Tahun 2015 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2015).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lahir di Parepare pada 25 Juni 1936, Bacharuddin Jusuf Habibie berhasil mengharumkan nama Indonesia dari Jerman. Ia berhasil menemukan teori yang menjadi solusi mengatasi keretakan pada sayap pesawat terbang. Kini teori yang dinamai Theory of Habibie itu digunakan semua industri pesawat terbang di seluruh dunia.

Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara. Ia merupakan putra dari  pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dari Parepare dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo yang berdarah Jawa.

Rudy, nama panggilan Habibie oleh orang tuanya, adalah bayi kecil yang selalu menangis. Orang tuanya pun sempat kebingungan kenapa Rudy kecil menangis lebih sering dibandingkan bayi seumuranya.

Gina S Noer dalam "Rudy:Kisah Muda Sang Visoner" menulis, solusi atas tangisan bayi yang kelak menjadi ilmuan besar Indonesia itu adalah memutarkan musik klasik. Piringan hitam menjadi pilihan sang ayah karena tak bisa sepanjang hari menghentikan tangisan Rudy dengan melantunkan ayat suci Alquran.

photo
FOTO DOKUMENTASI. Presiden Joko Widodo (kanan) mendengarkan penjelasan dari Presiden ke-3 RI BJ Habibie (kedua kiri) mengenai industri penerbangan didampingi Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir (kedua kanan) saat mengunjungi stan pameran National Innovation Forum 2015 di Puspiptek, Serpong, Tangerang, Senin (13/4/2015).

Waktu berlalu, usia Rudy bertambah. Ia kini mulai bisa berbicara. Meski tak lagi menangis, Rudy membuat orang tuanya kewalahan dengan sederet pertanyaannya. Ia selalu ingin tau banyak hal. "Makin lancar Rudy berbicara, makin banyak pula pertanyaan yang ia ajukan," tulis Gina.

Masalahnya kembali sama, sang Ayah tak bisa menjawab semua pertanyaan Habibie kecil setiap saat, sebab ia juga harus pergi bekerja sebagai Kepala Dinas Pertanian saat itu. Akhirnya, kedua orang tuanya memberikan buku sebagai tempat bertanya Rudy. Ia pun akrab dengan buku, bahkan di usia empat tahun, sosok yang kelak menjadi Presiden Ke-3 Indonesia ini, sudah bisa membaca dengan lancar.

Menginjak usia 14 tahun, Rudy tak lagi bisa banyak berdikusi dengan ayahnya ketika buku tak memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanya. Sang ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Ibu Habibie memutuskan untuk menjual rumah mereka di Parepare lalu pindah ke Bandung.

Di kota kembang itulah Habibie remaja menempuh pendidikan di SMAK Dago. Pelajaran favoritnya adalah fisika. Selanjutnya, pada tahun 1954, ia melanjutkan studi ke Jurusan Tenik Mesin Universitas Indonesia Bandung atau sekarang dikeal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Hanya enam bulan di ITB, Habibie memilih untuk melanjutkan studi ke Jerman. Ia berkuliah di Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule (RWTH) dengan jurusan Teknik Penerbangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement