Gotong royong
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek meminta masyarakat memahami alasan-alasan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Ia menjelaskan, defisit terjadi karena iuran yang terkumpul tidak cukup untuk membayarkan klaim.
"Ini harus dimengerti masyarakat. Karena banyak yang sakit, jadi banyak yang diobati, sedangkan penerimaan iuran tidak sesuai dengan pengeluaran," ujar Nila saat diemui seusai membuka acara Dharma Wanita Persatuan, di Jakarta, Selasa (3/9).
Ia mencontohkan, peserta bukan penerima upah kelas III yang harus menjalani cuci darah karena gagal ginjal, biayanya sekitar Rp 1 juta untuk satu kali cuci daerah. Peserta ini harus menjalani cuci darah setiap pekan yang artinya membutuhkan uang hampir Rp 4 juta setiap bulan. Padahal, peserta itu hanya membayar premi Rp 25 ribu per bulan.
Menkes meyakini, peserta JKN-KIS akan memanfaatkan pelayanan kesehatan melebihi iuran yang dibayar. Pada 2018 saja, kata dia, ada 233,5 juta orang yang telah mendapatkan pelayanan kesehatan JKN-KIS.
"Kemudian siapa yang membiayai? Itulah yang namanya gotong royong dan bagi peserta yang mampu, tolong bantu yang tidak mampu atau yang sehat menolong yang sakit, karena itu iuran kelas I dan II dinaikkan," katanya.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan, BPJS Kesehatan terus berupaya meningkatkan kolektabilitas iuran PBPU yang saat ini baru mencapai 53 persen. Menurut dia, salah satu penyebabnya adalah belum ada payung hukum untuk kepatuhan pembayaran iuran PBPU.
Kendati demikian, pihaknya selalu melakukan berbagai upaya dengan melakukan telecollecting, mengirimkan kader JKN, hingga mempermudah channel pembayaran iuran. "Kemudian kami advokasi, sosialisasi, dan edukasi membayar iuran secara rutin," katanya.
Mengenai kemungkinan peserta kelas I dan II turun kelas ke kelas 3 akibat iuran naik, Iqbal mengatakan BPJS Kesehatan tidak bisa berbuat banyak. Menurut dia, hal itu menjadi hak peserta.