Rabu 04 Sep 2019 01:02 WIB

Wiranto Bantah Anggapan Enggan Selesaikan Kasus HAM Papua

Ada aturan main di bidang hukum yang tak bisa dipenuhi.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Menko Polhukam Wiranto memberikan keterangan pers terkait kondisi terkini Papua di Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Menko Polhukam Wiranto memberikan keterangan pers terkait kondisi terkini Papua di Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (2/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto membantah tuduhan mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Papua dan Papua Barat yang tak terselesaikan. Menurutnya, pemerintah bukan enggan menyelesaikannya tetapi ada aturan main di bidang hukum yang tak bisa dipenuhi.

"Sehingga dipermasalahkan seakan pemerintah enggan atau tak mau menyelesaikan pelanggaran HAM berat di Papua dan Papua Barat," ujar Wiranto di Gedung Kemenko Polhukam, Selasa (3/9).

Baca Juga

Berdasarkan data yang diterima, Wiranto memaparkan kasus pelanggaran HAM berat di Papua. Dulu ada keinginan untuk menginvestigasi 12 kasus pelanggaran HAM berat di Papua, tetapi setelah disortir tak semua 12 kasus itu pelanggaran HAM berat.

Ia mengatakan, dalam kasus itu beberapa termasuk masalah kriminal dan sudah diselesaikan melalui jalur hukum pidana dan KUHP oleh kepolisian dan kejaksaan. Wiranto menyebutkan, ada tiga kasus yang direkomendasikan pelanggaran HAM berat, yakni Wasior 2001, Wamena 2003, dan Paneae 2014.

"Dan sudah terjadi satu kerja sama antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung. Jadi pelanggaran HAM berat itu syaratnya harus satu proses penyidikan, penyelidikan awal, untuk masuk ke sana," kata Wiranto.

Ia menjelaskan, penyidikan, hasil penyidikan harus dapat memenuhi persyaratan bahwa itu pelanggaran HAM berat dan cukup bukti untuk ditindaklanjuti. Akan tetapi, antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung belum menemukan titik temu untuk mengkategorikan pelanggaran HAM berat.

Menurut Wiranto, apa yang sudah ditemukan Komnas HAM diserahkan ke Jaksa Agung. Kemudian dicek, dipelajari, dianalisis, dan hasilnya belum memenuhi untuk dapat diteruskan dalam proses-proses pengadilan. Sehingga dikembalikan lagi dan agak memakan waktu.

"Contoh misalnya, satu peristiwa yang mencari alat buktinya itu harus autopsi jenazah. Nah begitu mau diiautopsi, Keluarganya di sana banyak yang enggak mau," tutur dia.

Sehingga jenazah itu tak bisa dibedah dan menyebabkan penyelidikan terhambat karena tak ada kelengkapan bukti. Ia melanjutkan, untuk kasus Wasior dan Wamena telah ada koordinasi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung yang terus berlanjut melengkapi syarat formal dan material pada proses peradilan.

Untuk kasus Wasior, Mahkamah Militer Tinggi II tahun 2003 telah mengadili delapan anggota Polri yang telah berkekuatan hukum tetap. Catatan di sini, bahwa pada 2003 peradilan untuk Polri masih masuk peradilan militer.

"Kalau sudah diselesaikan satu kasus dengan satu proses peradilan, enggak usah dihukum dua kali," lanjut Wiranto.

Sehingga, kata dia, sejumlah hal seperti di atas memang terjadi bukan karena pemerintah enggan menyelesaikan. Akan tetapi, ada hal teknis yang harus diselesaikan terlebih dahulu maupun secara teknis sebenarnya kasus itu sudah diselesaikan.

Namun, yang terus digaungkan bahwa pelanggaran HAM berat di Papua belum diselesaikan. Menurut Wiranto, perlu ada dialog apakah terus digenjot melalui judicial, atau lewat non judicial melalui pendekatan budaya.

"Kita kan punya lembaga adat yang bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara-cara yang kekeluargaan. Bahkan di Papua dan Papua Barat, ada istilah bakar batu. Antar suku pun, ada yang terbunuh, ada acara adat bakar batu, selesai. Pesta-pesta, sembelih binatang, makan-makan, menari-menari, selesai," jelas Wiranto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement