Jumat 30 Aug 2019 05:47 WIB

Internet Papua Diblokir: 'Anak-Anak tak Bisa Lihat Ayah'

Warga Papua dan luar Papua keluhkan pemblokiran internet.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Muhammad Subarkah
Asap membubung ke langit dari sejumlah bangunan yang terbakar saat berlangsungnya aksi unjuk rasa di Jayapura, Papua, Kamis (29/8/2019).
Foto: Antara/Indrayadi TH
Asap membubung ke langit dari sejumlah bangunan yang terbakar saat berlangsungnya aksi unjuk rasa di Jayapura, Papua, Kamis (29/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Terbatasnya akses internet di Papua dan Papua Barat membuat warga pendatang yang bekerja atau menetap di provinsi paling timur Indonesia itu kesulitan berkomunikasi. Warga pendatang di sana terpaksa hanya mengandalkan SMS dan sambungan telepon untuk bisa berkomunikasi dengan keluarga, kolega, atau rekan bisnis yang ada di luar Papua dan Papua Barat.

Mita Ardana (27 tahun), misalnya. Ibu rumah tangga ini tak bisa berkomunikasi via panggilan video dengan suaminya yang bekerja di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua. Sudah sepekan ini, sejak 22 Agustus 2019, anak-anak Mita tidak bisa melihat wajah sang ayah.

"Awalnya Skype masih bisa digunakan, namun kini tidak bisa sama sekali. Di sana, internet sama sekali tidak bisa diakses, kecuali e-mail kantor," ujar Mita yang kini tinggal di Yogyakarta, Kamis (29/8).

Mita menambahkan, pembatasan akses internet ini terlihat berlebihan karena sudah berlangsung sepekan lamanya. Apalagi, kata dia, banyak warga pendatang dari Jawa, Sulawesi, Sumatra, dan daerah lain di Indoneesia yang kini bekerja atau menetap di Papua dan Papua Barat. Mita menilai, akses internet selama ini menjadi senjata utama para pendatang untuk berkomunikasi dengan keluarga di kampung halaman.

Sementara itu, akses komunikasi menggunakan telepon dan pesan singkat di Kota Jayapura dimatikan sejak pukul 15.30 WIT, Kamis (29/8), ketika massa yang berunjuk rasa mulai menuju arah Kantor Gubernur Dok II Jayapura.

Subarna, salah satu warga Jayapura, mengatakan gelisah karena tidak dapat menghubungi keluarga di rumah untuk mengecek situasi. "Saya telepon berulang-ulang tapi tidak bisa, saya khawatir keluarga, jangan sampai masih ada yang di jalan," katanya.

Senada dengan Subarna, Markus mengatakan, setelah dipulangkan lebih awal oleh kantornya, dia juga agak takut untuk melewati rute jalan yang dilewati oleh massa pengunjuk rasa.

"Infonya di Abepura sudah rusuh karena ada aksi pembakaran, makanya kami yang bekerja di perbankan dipulangkan lebih awal," katanya.

Berdasarkan informasi di lapangan, massa yang bergerak dengan berjalan kaki melempari setiap bangunan yang dilewati. Sementara, massa yang menggunakan kendaraan bermotor bergerak membawa bendera-bendera yang dikibarkan.

Sementara itu, pihak Istana Kepresidenan mengklaim pembatasan akses internet di Papua yang sudah berlangsung sejak sepekan ini merupakan perintah konstitusi. Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menjelaskan, ditutupnya akses internet di Papua demi membatasi penyebaran berita bohong yang selama ini diyakini menjadi bahan bakar aksi anarkistis yang dilakukan warga dan kelompok bersenjata.

"Itu perintah undang-undang, untuk pemerintah harus lakukan itu, karena penyebaran informasi elektronik itu, dalam UU ITE itu, pemerintah diperintah oleh undang-undang untuk bisa membatasi data dan agar tidak terjadi penyebaran berita hoaks," kata Ngabalin di Istana Negara, Kamis (29/8).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement