Kamis 22 Aug 2019 03:41 WIB

Tajuk Republika: Mengevaluasi Jaksa

.

Pelaku begal ditangkap (ilustrasi).
Pelaku begal ditangkap (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Ibarat pagar makan tanaman. Itu pepatah paling tepat untuk menggambarkan oknum jaksa yang baru saja ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antirasuah itu menetapkan dua orang jaksa sebagai tersangka kasus suap terkait lelang proyek pada Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta Tahun Anggaran 2019. Salah satu jaksa tersebut berinisial ESF merupakan anggota Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) di Kejaksaan Negeri Yogyakarta.

TP4D melakukan tugas pengawas agar tidak ada penyalahgunaan dalam proyek pembangunan. TP4D yang dibentuk jaksa agung sebenarnya adalah respons atas arahan Presiden Joko Widodo yang menyinggung tentang lambannya penyerapan anggaran karena para kepala daerah takut mengambil kebijakan. Namun, jaksa ESF yang seharusnya melaksanakan tugas mencegah penyimpangan untuk mendukung pembangunan di daerah, justru menyalahgunakan posisi dan kewenangannya sebagai Tim TP4D.

Sang pengawas justru berbuat culas. Bukannya mencegah korupsi, sang pagar merusak tanaman yang seharusnya dia jaga.

Dalam kasus tersebut, selain ESF, KPK menetapkan jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta, SSL, sebagai tersangka. ESF dan SSF ditetapkan sebagai penerima suap dari Direktur Utama PT Manira Arta Rama Mandiri, GYA, yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.

Eka yang menjadi salah satu anggota TP4D diduga mengondisikan proses lelang agar dimenangkan PT Manira Arta Rama Mandiri. Hal tersebut dilakukan, antara lain, dengan cara menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengikuti lelang, besaran harga perkiraan sendiri (HPS), ataupun besaran harga penawaran yang disesuaikan dengan spesifikasi atau persyaratan yang dimiliki oleh perusahaan milik GYA. Selain itu, ditentukan pula jumlah perusahaan yang akan digunakan untuk mengikuti lelang.

Memang bukan sekali ini terjadi oknum jaksa ditangkap KPK karena terlibat suap dan korupsi. Tapi, kasus ESF benar-benar membuat kita geleng-geleng kepala. Jaksa ESF pastilah jaksa pilihan sehingga diberi beban menjadi anggota TP4D. Bukannya melakukan pengawasan, TP4D malah digunakan sebagai lahan memperkaya diri sendiri.

Kasus ini tentu tak bisa dianggap sepele. Ini masalah serius. Pertanyaannya, apakah kasus ini hanya terjadi di Yogyakarta, dan terbongkar karena ada operasi tangkap tangan (OTT) KPK? Bagaimana dengan jaksa-jaksa yang yang tergabung dengan TP4D di daerah-daerah lain? Apakah sudah bersih dari praktik seperti yang dilakukan jaksa ESF?

Mestinya kasus ini menjadi momentum bagi Kejaksaan Agung untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap jaksajaksa yang tergabung dalam TP4D. Jangan sampai TP4D ini justru digunakan sebagai ajang untuk melakukan penyelewengan.

Jangan ada lagi ada jaksa-jaksa yang makan tanaman. Lebih jauh pembenahan internal kejaksaan harus terus dilakukan. Mulai dari rekrutmen hingga menjalani karier seba gai jaksa. Malu rasanya jika setiap sebentar kita mendengar ada jaksa yang ditangkap KPK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement