Jumat 08 Mar 2024 16:08 WIB

Pakar Hukum Sebut Kejagung Harus Dijauhkan dari Anasir Politik

Jabatan Jaksa Agung bisa digunakan untuk menggebuk lawan politik.

Rep: Ali Mansur/ Red: Joko Sadewo
Kantor Kejaksaan Agung di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. (foto ilustrasi)
Foto: Dok Kejakgung
Kantor Kejaksaan Agung di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. (foto ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat hukum tata negara Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah, mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pengurus partai politik (parpol) dilarang menjabat Jaksa Agung. Anasir politik harus dijauhkan dari Kejaksaan Agung.

Hal ini disampaikan menanggapi putusan MK tersebut terkait pengurus partai politik (parpol) dilarang menjabat Jaksa Agung. Putusan yang tertuang dengan nomor 6/PUU-XXII/2024. ini, lahir dari gugatan yang diajukan seorang jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar.

"Anasir politik harus dijauhkan dari kejaksaan sekaligus untuk menghindari konflik kepentingan antara jaksa agung dengan genealogi kekuasaan," ujar Herdiansyah Hamzah, Jumat (8/3/2024).

Lebih lanjut, kata Herdiansyah, pada saat posisi Jaksa Agung dijabat oleh orang yang merupakan pengurus partai politik maka bakal ada sejumlah resiko yang ditimbul di kemudian hari. Salah satunya adalah adanya potensi rawan intervensi. Sebab tidak menutup kemungkinan jabatan Jaksa Agung digunakan untuk menggebuk lawan politik genealogi politiknya dari partai politik. Mengingat Kejaksaan merupakan institusi penegak hukum. Karena itu, ia mendukung putusan MK tersebut. 

"Karena ini domain hukum, tidak boleh dipimpin orang politik,” tegas Herdiansyah. 

Sebelumnya, MK mengabulkan uji materi UU 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, terkait syarat pengurus partai yang harus mundur minimal lima tahun untuk menjadi jaksa agung. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement