Rabu 14 Aug 2019 23:11 WIB

Menkominfo: Jangan Biarkan Jempol Lebih Cepat dari Pikiran

Menkominfo meminta masyarakat jangan membiarkan mudah menyebar hoaks

Menkominfo Rudiantara (kempat kiri) bersama Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan HB X (tengah) dan Rektor UGM Panut Mulyono (ketiga kanan) menyapa pelajar saat Aubade Pancasila 2019 di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (14/8/2019).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Menkominfo Rudiantara (kempat kiri) bersama Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan HB X (tengah) dan Rektor UGM Panut Mulyono (ketiga kanan) menyapa pelajar saat Aubade Pancasila 2019 di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (14/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menegaskan bahwa salah satu upaya untuk meminimalisir fitnah perpecahan akibat maraknya hoaks atau berita bohong yakni dengan tidak mudah menyebar berita yang tidak jelas dan provokatif.

"Jangan biarkan jempol kita lebih cepat daripada pikiran, dan begitu mudah menyebar berita bohong, fitnah, dan ujaran kebencian," kata Rudiantara pada Orasi Kebangsaan dan Audabe Kongres Pancasila di halaman Balairung UGM Yogyakarta, Rabu (14/8) sore.

Baca Juga

Menurut dia, saat ini pihaknya masih menangani ratusan berita bohong yang muncul di berbagai media sosial setiap harinya. "Pada masa Pemilu 2019, kami menangani hoaks yang jumlahnya kurang lebih empat ratusan setiap hari. Isinya beragam, seperti ngadu-ngadu antara TNI dengan polisi, menghasut masyarakat tentang adanya pembakaran dan lain sebagainya yang disebarkan oleh kurang lebih 600 kanal baik itu Facebook, media sosial lainnya maupun video call," katanya.

Ia mengatakan, atas dasar itulah pemerintah mengambil ketetapan pada saat itu untuk membatasi. Bukan menutup tapi membatasi fitur-fitur tertentu dari dunia digital."Yang dibatasi adalah video dan gambar, mengapa ? Karena orang cenderung mudah terbakar, tersulut emosinya apabila menerima video maupun gambar," katanya.

Pemerintah tidak menutup untuk fitur teks, masih diperbolehkan karena logikanya kalau teks orang membaca pada saat membaca ada kesempatan untuk mencerna. "Namun karena tingkat literasi masyarakat Indonesia tentang digital masih belum tinggi, akibatnya banyak yang termakan walaupun itu dalam bentuk teks," katanya.

Ia mengatakan, email saat itu juga masih tetap diperbolehkan, beda dengan negara-negara yang lain dimana catatan 13-14 negara di dunia yang melakukan penutupan apabila terjadi sesuatu dengan negaranya. "Indonesia masih bisa tidak ditutup, tetapi dibatasi ini yang memberikan apresiasi adalah Pemerintah Inggris dan Pemerintah Kanada dan meminta kami menyampaikan pada saat pertemuan "freedom of media" di London.

Rudiantara mengatakan, hoaks sangat luar biasa dampak negatifnya Indonesia. "Pemerintah melakukan secara berjenjang untuk meminimalisir hoaks, yang paling ideal adalah tingkatkan literasi, meningkatkan kemampuan masyarakat Indonesia sehingga mempunyai ketahanan, mempunyai resiliensi terhadap informasi yang diterima tidak asal-asalan saja," katanya.

Ia mengatakan, yang kedua adalah pengawasan atau isu di dunia maya itu sendiri, melakukan pembatasan akses, melakukan penutupan akun maupun situs yang kontennya bersifat fitnah dan bohong.

"Yang ketiga adalah penegakan hukum oleh teman-teman dari kepolisian," katanya.

Ia mengatakan, yang paling bagus, yang sedang dirumuskan pemerintah adalah sebaiknya pelajaran tentang literasi informasi ini masuk ke dunia pendidikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement