Jumat 09 Aug 2019 16:23 WIB

KPK: Suap Impor Pangan karena 2 Kementerian tak Sinkron

'Itu aneh sebenarnya, masa pemerintahan tidak bisa berkoordinasi dengan baik?'

Wakil Ketua KPK Laode M Syarief
Foto: Republika/ Wihdan
Wakil Ketua KPK Laode M Syarief

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK menilai, berulangnya operasi tangkap tangan (OTT) di sektor impor pangan adalah karena dua kementerian tidak punya kebijakan yang sinkron di bidang pangan. Dua kementerian tersebut yakni Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.

"Titik lemahnya itu sebenarnya. Jadi, misalnya seperti kemarin saat ada impor beras Kementerian Pertanian mengatakan beras banyak, tapi masih saja di impor, akhirnya Kepala Bulog mengeluh, mau ditaruh di mana impor ini karena gudangnya sudah penuh?" kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung Lemhanas Jakarta, Jumat (9/8).

Baca Juga

Laode menyampaikan hal tersebut seusai KPK menetapkan anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDIP I Nyoman Dhamantra (INY) bersama lima orang lainnya yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pengurusan izin impor bawang putih tahun 2019. I Nyoman diduga menerima fee sebesar Rp 2 miliar dari pemilik PT Cahaya Sakti Agro (CSA) Chandry Suanda alias Afung agar Afung mendapat kuota impor bawang putih.

Fee yang disepakati oleh I Nyoman adalah Rp 1.700 sampai Rp 1.800 dari setiap kilogram bawang putih yang diimpor atau Rp 3,6 miliar untuk 20 ribu ton bawang putih. Untuk memenuhi fee tersebut, Afung meminjam dari Zulfikar. Namun, baru terealisasi Rp 2,1 miliar dan ditransfer ke rekening rekan Afung, yaitu Doddy Wahyudi, lalu ditransfer ke rekening Nyoman sebesar Rp 2 miliar.

"Itu aneh sebenarnya, masak pemerintahan tidak bisa berkoordinasi dengan baik? Ya seperti itu berulang, dan kita berharap sebenarnya ini disetop, tapi sampai sekarang tidak juga," ungkap Laode.

Kasus impor pangan sebelumnya juga pernah terjadi pada 2013 lalu dalam perkara suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Kasus ini menyeret mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.

Selain itu pada 2016, ada kasus suap terkait dengan pengurusan kuota gula impor yang melibatkan Ketua DPD saat itu Irman Gusman. "Dulu kita pernah impor sapi, sekarang bawang, sebelumnya dulu sapi juga. Ini kelihatannya modusnya masih sama. Cuma modus bergeraknya beda-beda. Jadi, kita harus menyesuaikan diri untuk hal itu," tambah Laode.

Ia pun meminta agar pemerintah dapat tegas untuk menghentikan praktik korupsi tersebut agar penentuan kuota tidak selalu menjadi lahan untuk suap-menyuap. "Karena hampir semua komoditas terjadi, sehingga di pasar masih kelebihan karena mereka ingin mendapat keuntungan ekonomi," ungkap Laode.

Ketidaksinkronan itu juga membuka celah terjadinya praktik perdagangan pengaruh (trading in influence) untuk penentuan kuota. "Perdagangan pengaruh juga akhirnya dimanfaatkan karena selisih harga komoditas di luar negeri dengan dalam negeri itu tinggi sekali. Seperti bawang putih harganya satu kilo di sini berapa? Kalau di Cina murah sekali, beras juga begitu harga beras itu setengahnya harga per kilogram di luar negeri dengan dalam negeri," kata Laode.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement