Rabu 31 Jul 2019 12:01 WIB

Tak Diajak ke Pemerintahan, Oposisi Harga Mati untuk PKS?

Mengambil sikap oposisi bukanlah sesuatu yang melanggar konstitusi.

Rep: Febrianto Adi Saputro, Amri Amrullah, Ali Mansur, Rizkyan Adiyudha / Red: Karta Raharja Ucu
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid saat menyampaikan kata kunci pada acara In House Training Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Foto: MPR
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid saat menyampaikan kata kunci pada acara In House Training Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menegaskan istiqamah menjadi opisisi. PKS tetap akan berpegang pada hasil keputusan Majelis Syuro PKS yang menyatakan berada di luar pemerintahan. Artinya, menjadi opisisi adalah harga mati untuk PKS.

Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua Dewan Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW). Ia menilai rapat Majelis Syuro yang rencananya akan digelar dalam waktu dekat sangat mungkin tetap konsisten dengan keputusan untuk berada di pihak oposisi.

"Menurut saya sih malah kemungkinan akan makin menguatkan keputusan ada di luar kabinet," kata Hidayat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/7).

Ia menuturkan, Presiden PKS Sohibul Iman juga telah beberapa kali bertemu dengan konstituen PKS di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Dari hasil pertemuan tersebut, diketahui bahwa mayoritas konstituen menginginkan PKS tetap berada di sisi oposisi.

Menurut dia, mengambil sikap oposisi bukanlah sesuatu yang melanggar konstitusi. Ia mengingatkan, PDI Perjuangan juga pernah berada di luar pemerintahan selama 10 tahun pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Setelah sinyal mesranya PDIP dengan Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN) juga menyatakan mendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf tanpa syarat. Selain itu, dalam waktu dekat, presiden terpilih Joko Widodo juga tengah mendekati Demokrat.

Rencananya Jokowi akan bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam waktu dekat. Hanya PKS yang sampai saat ini tidak di dekati partai koalisi pemerintah dan pejawat Presiden Jokowi. Padahal, perolehan suara PKS saat Pemilihan Legislatif 2019 sebanyak 11.493.663 atau 8,21 persen suara. Angka ini lebih baik dibanding suara Demokrat yang mendapatkan 10.876.507 atau 7,77 persen dan PAN yang hanya 9.572.623 atau 6,84 persen.

"Kalaupun sekarang PKS berada di luar kabinet nggak perlu dianggap sebagai suatu hal yang dalam tanda kutip harus dicurigai dan dipersekusi atau diposisikan sebagai suatu hal," ujar wakil ketua MPR tersebut.

Sebaliknya, publik seharusnya berterima kasih karena masih ada partai yang mau mengambil sikap oposisi. Menurut dia, dengan demikian, demokrasi di Indonesia dapat berjalan dengan sehat.

"Dengan cara itu, harapan dengan adanya demokrasi yang lebih berkualitas, demokrasi yang lebih substantif akan bisa dilaksanakan," ujarnya.

Ketua Bidang Politik dan Hukum DPP PKS Al Muzzammil Yusuf menegaskan, manuver yang dilakukan Gerindra, PAN, ataupun Demokrat merupakan hak masing-masing parpol. Namun, bagi PKS, menjadi oposisi lebih bermartabat.

"Bagi PKS sendiri, menjadi oposisi tidak ada masalah karena oposisi itu juga bermartabat dan sangat konstruktif, bahkan dijamin dalam konstitusi serta sangat dibutuhkan demi sehatnya demokrasi," ujarnya.

Ia menjelaskan, PKS sudah terbiasa di luar pemerintahan, bahkan kalau PKS harus sendirian di luar pemerintahan. "Jadi, kalau PKS oposisi sendirian ya, kami sudah pernah lakukan pada 2014 lalu, biasa saja," kata Al Muzzammil.

Dosen Komunikasi Politik Universitas Bra wijaya Anang Sudjoko menilai salah satu alasan pemerintah terkesan tidak membuka komunikasi dengan PKS karena rekam jejaknya. "PKS dikenal sebagai partai yang sam pai saat ini identik dengan real opposition political party.

"Ada parpol di koalisi pengusung Jokowi yang anti-PKS dan parpol ini sangat kuat posisinya," ujar Anang.

Tidak hanya itu, Anang menilai jika PKS merupakan partai yang tidak mudah diajak bermain. Kemudian partai dakwah itu juga dikenal sebagai satu-satunya partai yang ber komitmen pada Islam. "Namun, ini bisa men jadikan PKS sebagai partai yang konsisten dan ini bisa berbuah pada militansi yang makin tinggi pada diri simpatisan,"ujar Anang.

Wakil Direktur Eksekutif Puskapol UI Hurriyah menilai PKS tidak diundang ke koalisi karena adanya resistensi dengan PDIP dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di level nasional. Meskipun, hal itu tidak terjadi di tingkat daerah.

Menurut dia, loyalitas PKS terhadap koalisi kerap dipertanyakan. Hurriyah mencontohkan, saat PKS diajak masuk ke dalam koalisi pemerintahan SBY. Saat itu, PKS menyebut jika koalisi me reka bersifat konstruktif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement