Jumat 19 Jul 2019 07:57 WIB

Konflik Mesuji yang Kembali Memakan Korban

Bentrok terjadi karena perebutan lahan di kawasan Register 45 Sungai Buaya, Mesuji.

Sejumlah rumah didirikan di lahan hutan Register 45, Mesuji, Lampung. (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Sejumlah rumah didirikan di lahan hutan Register 45, Mesuji, Lampung. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Polemik kepemilikan lahan di kawasan Register (hutan negara) 45 Sungai Buaya, Kabupaten Mesuji, Lampung, kembali memakan korban. Bentrok antarkampung di kawasan tersebut pada Rabu (17/7) mengakibatkan tiga orang meninggal dunia dan 10 orang luka-luka, satu di antaranya masih kritis di Rumah Sakit Bhayangkara Bandar Lampung.

“Jadi, pendataan terakhir tiga orang meninggal dan 10 orang warga luka berat dan ringan," kata Kepala Bidang Humas Polda Lampung Kombes Zahwani Pandra Arsyad, Kamis (18/7).

Korban meninggal dunia berinisial B, J, dan R. Sementara, korban luka-luka bernisial YI, JO, BI, HO, RT, RN, II, RJ, RH, dan satu orang lainnya yang dalam kondisi kritis belum disebut identitasnya.

Bentrok antarkampung Mekar Jaya Abadi dan Pematang Panggang Raya (Mesuji Timur) yang terjadi di lahan Register 45 terjadi pada Rabu sekitar pukul 14.00 WIB. Awalnya, sekitar pukul 11.00 WIB, datang alat berat bajak milik kelompok Pematang Panggang Mesuji Raya dan kemudian melakukan pembajakan di lokasi KHP Register 45 Mekar Jaya Abadi.

Pembajakan itu dilakukan di area tanah seluas setengah hektare milik salah seorang warga bernama Yusuf (41 tahun), yang merupakan kelompok Mekar Jaya Abadi. Warga Mekar Jaya Abadi yang mengetahui kegiatan itu langsung memukul kentungan dan mengamankan pembajak tersebut.

Setelah menanyakan asal-usul pembajakan tersebut, warga Mekar Jaya Abadi melepasnya. Tidak lama berselang, si pembajak kembali ke lokasi bersama rekan-rekannya dan menyerang kelompok Mekar Jaya. Bentrokan dengan menggunakan senjata tajam pun tak terhindarkan.

Hingga Kamis siang, keluarga korban masih ramai di RS Bhayangkara. Petugas RS Bhayangkara, Rina, mengatakan, dari 10 korban luka-luka, delapan di antaranya mengalami luka berat. Sementara, korban meninggal telah dibawa oleh pihak keluarga untuk dimakamkan.

Pandra mengatakan, semua korban mengalami luka sabetan senjata tajam. Sampai saat ini, diduga bentrok terjadi karena perebutan lahan di kawasan Register 45 Sungai Buaya, Mesuji.

Menurut Pandra, sejak Kamis (18/7) siang, situasi di lokasi konflik sudah kondusif. “Sebanyak 500 personel aparat Brimob Polda Lampung diturunkan di TKP dibantu anggota TNI untuk menjaga kondisi di sana agar tidak terjadi lagi aksi balas dendam,” kata Pandra.

Aparat dari Polri dan TNI dibantu tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat terus melakukan upaya mediasi. Kepolisian bersama pihak terkait akan mempertemukan warga yang bertikai tersebut agar tak terjadi bentrok susulan.

Meski begitu, sebagian warga di Register 45 Mekar Jaya Abadi telah diungsikan ke Polsek Simpang Pematang dan tempat kerabatnya. "Ada yang di polsek, ada yang dijemput keluarganya diungsikan di lokasi yang aman," ujar anggota Shabara Polres Mesuji, Briptu Alfien, di lokasi kejadian, Kamis sore.

Menurut Alfien, tidak ada lagi warga yang menempati rumahnya masing-masing. Sejumlah rumah warga terlihat kosong dan terkunci. Tidak ada satu pun warga yang berada di lokasi selain personel gabungan dari Brimob dan Shabara yang berjaga. "Meskipun sudah tidak ada warga, kita tetap waspada menjaga lokasi kejadian," kata dia.

Kabag Penum Humas Mabes Polri Kombes Adi Saputra mengatakan, kepolisian akan mengedepankan upaya rekonsiliasi sesama masyarakat ketimbang mendahulukan proses penegakan hukum di Mesuji. “Peristiwa seperti ini adalah kekerasan yang dilakukan bersama-sama. Polri harus mendalami situasi di masing-masing pihak. Tetapi, yang paling utama adalah bagaimana untuk mendamaikan pihak-pihak terkait,” ujar Asep.

Proses hukum, Asep menerangkan, baru akan dilakukan Polri setelah upaya menenteramkan situasi berjalan dengan baik. “Jadi, pemulihan situasinya kita lanjutkan dengan upaya penegakan hukum yang dilakukan paralel,” kata dia.

Menurut Asep, konflik terjadi karena ada sekelompok pendatang yang menggarap dan mengklaim pertanahan. Sementara, ada kelompok yang sudah lama bermukim yang juga merasa berhak dan mengklaim lahan yang sama.

Padahal, lahan tersebut tak terikat kepemilikan siapa pun. “Ini (yang diklaim) adalah lokasi hutan lindung yang sebenarnya tidak boleh untuk upaya pengelolaan swadaya masyarakat atau kelompok tertentu," ujar Asep menerangkan. n bambang noroyono/mursalin yasland, ed: ilham tirta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement