Kamis 18 Jul 2019 10:11 WIB

Bu Nining dan Nasib Pengajar Kita

Pemerintah sudah gencar membuka jalan pengangkatan pengajar honorer menjadi PNS.

Israr Itah
Foto: Dokpri
Israr Itah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Israr Itah*

Guru merupakan profesi yang dekat dengan keluarga besar saya dari jalur ibu. Kakek buyut saya seorang guru di tempat kelahiran saya di Binjai, Sumatra Utara. Sebagai penghormatan dari pemda setempat, namanya diabadikan sebagai jalan kelurahan tempat saya besar. Dua anaknya menjadi guru, salah satunya ibunya ibu saya alias nenek. Beliau menikah dengan kakek yang profesinya juga guru. Lengkap sudah. 

Ibu saya tak mengikuti jejak orang tuanya menjadi guru, tapi beliaulah yang mengajarkan saya membaca dan berhitung. Praktis, saya lebih banyak bermain di sekolah selama kelas satu dan dua karena materi pelajaran yang diberikan ibu guru saya kala itu sudah saya lahap semua dari ibu di rumah.

Maka sangat terkejutlah saya saat sekitar sebulan lalu mengecek notifikasi berita pada pagi hari di ponsel pintar terkait profesi guru. Tiga oknum guru SMP cabuli siswanya di Kecamatan Cikeusal, Serang, Banten. Luar biasa, tak cuma satu, tapi tiga!

Perasaan saya campur aduk setelah membaca sampai tuntas berita yang tersaji di layar ponsel itu. Marah luar biasa kepada tiga guru itu dan sedih memikirkan nasib siswi-siswi yang dicabuli. Ketika itu, saya hanya bisa berharap oknum guru tadi dapat hukuman setimpal dan siswa yang korbannya bisa menjalani kehidupan dengan baik.

Kemudian beberapa hari lalu emosi saya kembali terusik. Kali ini karena membaca kisah seorang guru bersama suami dan dua anaknya terpaksa tinggal di toilet sekolah karena tak sanggup menyewa rumah. Ini terjadi di Kabupaten Pandeglang, Banten. Ibu Nining Suryani (44) mengaku terpaksa harus tinggal di toilet karena rumahnya roboh dan tak punya uang membangun kembali. 

Ia hanya mendapatkan upah Rp 350 ribu setiap tiga bulan sekali, sementara suaminya Ebi Suhaebi (46) hanya kuli kebun dengan penghasilan tak menentu. Ia sudah 15 tahun mengabdi menjadi guru SD negeri. Ibu Nining pernah mengajukan lamaran untuk diangkat sebagai PNS, namun terganjal pendidikannya yang hanya sampai semester empat. Ia kemudian berusaha mendapatkan gelar sarjana dan berhasil meraihnya dari Universitas Terbuka pada 2015. Sayangnya, ia kemudian terganjal batas usia maksimal penerimaan PNS.

Pro kontra proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 dengan sistem zonasi yang sempat menyeruak jadi tak ada artinya dengan dua kasus ini. Saya termasuk mendukung konsep zonasi, terlepas dari pelaksanaan yang amburadul di sejumlah tepat. Sebab dalam sistem zonasi ini ada tahapan merotasi guru-guru terbaik ke sekolah yang akan dibina mutunya di setiap zona. Kemudian, pemerintah merenovasi bangunan fisik sekolah sesuai dengan standar mutu sarana dan prasarana.

Tapi menurut saya, harusnya pemerintah membereskan dulu berbagai masalah pokok terkait tenaga pengajar. Segala macam konsep apik untuk memperbaiki pendidikan tetap harus kembali ke dasarnya, yakni tersedianya sosok guru yang cakap, berkualitas, dan punya integritas. Bagaimana bisa kita menuntut seorang guru yang sehari-hari tinggal di samping toilet dengan gaji minim untuk mengajar dengan maksimal dan membuat siswanya pintar?

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement