Kamis 18 Jul 2019 10:11 WIB

Bu Nining dan Nasib Pengajar Kita

Pemerintah sudah gencar membuka jalan pengangkatan pengajar honorer menjadi PNS.

Israr Itah
Foto:
Israr Itah

KemenpaPAN-RB, Kemendikbud, bersama pemerintah daerah mestinya bisa bersinergi untuk memecahkan masalah ini. Banyak tenaga honorer yang bertahun-tahun mengabdi sebagai guru di daerah, tapi belum mendapatkan penghargaan sepadan. Pengangkatan sebagai PNS menjadi salah satu caranya. 

Benar seperti kata Pak Wapres Jusuf Kalla, pemerintah sudah gencar membuka jalan pengangkatan pengajar honorer menjadi PNS lewat jalur tes sejumlah syarat. Akan tetapi harus diakui, praktiknya belum berjalan maksimal. Mesti ada cara mengakomodasi sosok-sosok seperti Nining yang sudah terbukti rekam jejaknya, namun terganjal masalah usia. Begitu pula sejumlah tenaga guru di daerah yang bisa jadi belum tamat S1, namun sudah puluhan tahun berjasa mendidik ribuan siswa.

Saya percaya, saat ini sudah banyak yang datang mengulurkan tangan untuk membantu Bu Nining. Lazim di Indonesia, saat ada kabar viral yang mengetuk sisi kemanusiaan, ramai-ramai orang datang membantu. Tapi ini bukanlah solusi yang baik karena butuh berita viral untuk menghadirkan bantuan. Mirip pemadam kebakaran yang baru bekerja saat api berkobar. Mesti ada satu sistem terbaik yang diawasi pelaksanaannya untuk mengatasi masalah seperti yang dihadapi tenaga pengajar seperti Bu Nining.

Bila kebutuhan dasar seorang guru sudah bisa dipenuhi, barulah kita bisa bicara dan bergerak ke tahap selanjutnya, yakni meningkatkan kualitas mereka. Termasuk di antaranya memantau guru-guru yang berpotensi mengeksploitasi siswa mereka dari sisi ekonomi maupun seksual. Pada masa lalu, saya pernah bersinggungan dengan guru-guru semacam ini. 

Sekarang, saya juga mengenal guru pemalas minim integritas, yang tak pantas disandingkan dengan sosok Bu Nining. Di daerah, tak sedikit oknum guru seperti ini, diangkat PNS dan ditempatkan ke sekolah-sekolah di pelosok daerah, tapi malas mengajar dengan alasan jauh. Mereka hanya datang sesekali dan tak mendapatkan sanksi yang sepadan. Padahal di sisi lain gaji mereka tetap lancar, malah mendapatkan jaminan berutang ke bank. Jauh bak langit dan bumi dengan Bu Nining yang mengabdi dengan ikhlas, tapi tak menerima ganjaran sepadan. Kemendikbud bersama KemenpaPAN-RB juga harus punya formula terbaik untuk menertibkan guru-guru pemalas seperti di atas. 

Setelah persoalan mendasar terkait tenaga pengajar ini beres, barulah menuju ke perbaikan sarana dan prasarana sekolah. Sesudahnya, silakan menerapkan konsep terbaik demi pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.

Terus bertambahnya anggaran pendidikan di pusat maupun daerah tak ada gunanya bila peruntukannya tidak tepat sasaran. Kita tahu anggaran pendidikan kerap digunakan dengan tidak bijak, kalau tak boleh mengatakan diselewengkan. Awal Mei lalu, lagi-lagi di Banten, media setempat memberitakan demo yang digelar menuntut pengusutan dugaan korupsi pada proyek pengadaan komputer untuk Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) pada APBD Perubahan 2017 dan APBD 2018 di Dinas Pendudukan Banten. Nilainya mencapai Rp 21 miliar. Alangkah berartinya uang sebesar itu bila digunakan untuk perbaikan kesejahteraan guru di Banten.

Saya mengutip kembali kisah Jepang setelah Kota Nagasaki dan Hiroshima oleh bom Amerika. Kala itu, pemimpin Jepang Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jenderal masih hidup yang tersisa menanyakan kepada mereka jumlah guru yang tersisa. Para jendral bingung mendengar pertanyaan sang pemimpin. Namun, Kaisar Hirohito kembali menjelaskan bahwa kelumpuhan Jepang karena mereka tidak belajar. 

"Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan.”

Kita semua percaya negara ini akan semakin maju jika kualitas pendidikan makin baik. Mari berharap para pemangku kebijakan bisa bergerak lebih cepat mewujudkan ini. 

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement