Selasa 16 Jul 2019 05:01 WIB

Perlukah Adaya Kementerian Keamanan Nasional Kabinet Jokowi?

Kemntrian keamanan nasional sama pentingnya dengan orang bernapas,

Jokowi dan Prabowo naik MRT bersama-sama dari Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu (13/7)
Foto: Istimewa
Jokowi dan Prabowo naik MRT bersama-sama dari Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu (13/7)

Oleh: Margarito Kamis, Doktor HTN dan Staf Pengajar FH Univ KHairun Ternate

Pilpres berakhir sudah. Jokowi-Ma’ruf telah ditetapkan oleh KPU sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Titik. Prabowo, pria yang pernah dielu-elukan jutaan orang, yang beberapa dinataranya merelakan uang receh alakadarnya untuk, entah sebuah nilai hebat yang diyakini sedang diperjuangkan Prabowo atau karena sekadar kesamaan haluan politik, juga sudah memberikan ucapan selamat bekerja kepada Jokowi. Ucapan itu diberikan saat keduanya jumpa di dalam kereta MRT, yang mengawali perjalannya dari Lebak Bulus menuju Senayan Sabtu 13 Juli lalu.

Tanggal 20 Oktober yang akan datang Jokowi dan Ma’ruf, almukarram ini akan dilantik, diambil sumpahnya oleh MPR. Sumpah keduanya diucapkan  dalam sidang paripurna khusus MPR sebagai presiden wakil presiden Republik Indonesia peridoe jabatan 2019-2024. Usai pengucapan sumpah, keduanya sah menunaikan kewajibannya sebagai presiden dan wakil presiden.

Apa yang akan tertulis dalam sejarah ketetanegaraan dan politik sebagai hal pertama yang dilakukan oleh Presiden Jokowi pada periode kedua, sejujurnya tidak penting. Tidak penting pula membicarakan siapa yang diangkat oleh Presiden, bukan wakil presiden menjadi menteri, membantu dirinya memutar roda kekuasaan pemerintahan yang digenggamnya seorang diri.   

Tidak penting mengingatkannya bahwa jalan panjang yang terbentang dihadapannya terlihat berat, amat berat. Itu bukan karena persoalan legitimasi, yang kerap disajikan sebagai soal besar yang mengiringi mereka ke tampuk kekuasaan. Sama sekali bukan. Itu disebabkan demokrasi selalu bekerja sedemikian rupa rumitnya sehingga, legitimasi sehebat apapun  selalu sangat mudah rapuh disaat sembako menindis orang banyak, apalagi bila tarif dasar lisitrik ikut-ikutan menindis mereka. Hebatnya demokrasi selalu begitu,  memberikan kredit hampir seluruhnya kepada pemenang mendefenisikan jalannya kekuasaan.

Urusan Keamanan

Sepanjang sejarah demokrasi, apapun kualitasnya, keamanan telah muncul sebagai sesuatu yang sama pentingnya dengan orang bernapas. Ia berada di puncak dalam semua spektrum kehidupan sebagai hal yang urgensinya tak dapat ditangguhkan sekalipun hanya semenit. Keamanan teridentifikasi dalam kehidupan demokrasi sebagai nadi dalam semua aspeknya.

Keamanan nasional, dimanapun dalam semua negara demokrasi konstitusional telah diterima, dengan segala argumentasi yang mungkin sebagai hal yang dapat menangguhkan, entah sementara atau seterusnya, perintah-perintah konstitusi. Singkatnya demokrasi konstitusional membenarkan penundaan pemenuhan perintah konstitusi demi keamanan nasional. 

Dalam kasus Indonesia dibawah UUD 1945 sebelum diubah keamanan disatu-nafaskan dengan pertahanan, diurusi oleh satu kementerian; Kementerian Pertahanan dan Keamanan. Pola pikir ini akhirnya kehilangan pijakan konstitusionalnya, ditinggalkan menyusul lahirnya sejarah baru dengan takdir barunya. Sejarah itu diawali dengan perubahan pasal 30 UUD 1945. Takdir pasal itu mengharuskan keamanan dilepas dari kementerian pertahanan. Kementerian Pertahanan pun akhirnya tidak lagi mengurusi keamanan.

Apakah pemisahan keamanan dari pertahanan mengakibatkan keamanan nasional atau keamanan dalam negeri kehilangan sifatnya sebagai urusan pemerintahan pada aspek konstitusional? Bila jawabannya ya, apa argumen konstitusionalnya? Sebaliknya bila keamanan masih menyandang sifat konstitusionalnya sebagai satu urusan pemerintahan, mengapa tak ada satupun kementerian yang mengurusinya? Disitu soalnya.

Soal lainnya adalah apakah pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua memiliki kemauan mengambil tanggung jawab, menyamakan urgensi keamanan nasional dengan infrastruktur yang sejauh ini terlihat menjadi trade mark pemerintahannya, sehingga akan dikelola dengan sama seriusnya? Entahlah. Partai-partai politik yang mengelilinginya, sejauh ini terlihat lebih suka, seperti biasanya berbicara dalam nada tadisional politik siapa dapat apa, berapa jumlahnya, bidang apa saja dan sejenisnya.

Seelastis apapun pertimbangan konstitusional dalam spektrum pemahaman konstitusional, keamanan nasional sebagai satu isu konstitusi tak dapat dimasukan kedalam rumpun urusan pemerintahan yang diotonomikan. Konsekuensinya secara konstitusional keamanan menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Masalahnya tidak ada satu pun kementerian sejauh ini yang ditugasi untuk secara khusus, sesuai konstitusi merumuskan kebijakan, strategi dan penerapan program non penegakan hukum dalam menciptakan keamanan nasional. Haruskah keadaan ini dibiarkan terus berlangsung atau karena konstitusi diperlukan pembentukan satu kementerian, dapat disebut Kementerian Keamanan Nasional? 

   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement