Selasa 09 Jul 2019 23:11 WIB

Yohana Keluhkan Minimnya Anggaran di Kementerian PPPA

Kementerian PPPA mendapatkan anggaran sekitar Rp 500 miliar dalam APBN 2018.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Andi Nur Aminah
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yambise
Foto: ROL/Abdul Kodir
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yambise

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise mengelukan kecilnya anggaran yang digelontorkan bagi instansinya. Dia mengatakan, hal tersebut membuat lembanganya kesulitan untuk mengurangi angka Tindak Pidana Prdagangan Orang (TPPO) dengan maksimal.

"Kementerian kami mungkin salah satu kementerian yang salah satu anggarannya kecil, tidak sampai Rp 1 triliun," kata Menteri Yohana di Jakarta, Selasa (9/7).

Baca Juga

Pernyataan itu dia sampaikan saat menghadiri diskusi bertema 'Bahaya Human Trafficking di Tengah Majunya Industri Pariwisata Nasional'. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak diketahui mendapatkan anggaran sekitar Rp 500 miliar dalam APBN 2018.

Dia mengatakan, minimnya anggaran itu menyebabkan lembaganya kesulitan mengatasi mafia-mafia perdagangan manusia terlebih anak. Terlebih, dia mengatakan, instansi yang dia pimpin juga bersifat non-implementatif sehingga bukan tugasnya untuk turun langsung ke lapangan.

Yohana menlanjutkan, pihaknya memiliki keterbatasan ruanf gerak dan hanya bisa berkordinasi dengan Ketua KPAI dan menteri-menteri terkait. Dia mengumpamakan, diperlukan kekuatan peluru yang besar untuk meruntuhkan mafia perdagangan manusia yang dimaksud.

"Kalau Bu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan) bisa tenggelamkan kapal, saya juga pingin tenggelamkan mafia trafficing," kata Yohana lagi.

Sebelumnya, Menteri Yohana mengakui sulitnya pemberantasan TPPO. Dia mengatakan, beratnya pemberantasan kasus tersebut disebabkan adanya mafia, konspirasi hingga permainan serta keterlibatan oknum di dalam negeri.

Data International Organization for Migration menunjukan 8876 warga Indonesia menjadi korban kasus perdagangan orang dari 2015 hingga 2018. Yohana mengatakan, mayoritas korban berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Mengacu pada data tersebut, Badan Anak PBB (UNICEF) memperkirakan jika 100 ribu perempuan dan anak Indonesia diperdagangkan setiap tahun untuk eksploitasi seksual di dalam maupun di luar negeri. Data tersebut mendapati sekitar 80 persen pekerja seks komersial (PSK) berusia di bawah 18 tahun dan 40 ribu sampai 70 ribu anak menjadi korban perdagangan manusia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement