REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok Advokasi Riau (KAR) di wilayah Riau menyebut 5.400 hektar (ha) luas area terbakar berada di wilayah konsesi di provinsi itu. Kelompok itu mencatat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi pada kurun waktu Januari hingga Maret 2019.
“Terdapat 737 hotspot (titik panas) di Provinsi Riau dan 96 persen di antaranya berada di wilayah prioritas restorasi gambut,” kata GIS Specialist dari Kelompok Advokasi Riau (KAR) Rahmaidi Azani dalam keterangan tertulisnya, Selasa (2/7).
Dia menyebut, secara historis ada konsesi-konsesi yang terus terbakar setiap tahun sejak 2015. Dia berujar KAR tidak melihat adanya upaya restorasi sesuai mandat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016. Merujuk pada data KLHK, dia mengatakan, kebakaran hutan dan lahan gambut menyumbang 34 hingga 80 persen dari total emisi Indonesia pada 2015.
Rahmaidi beranggapan kebakaran hutan dan lahan menjadi ancaman serius bagi pelaksanaan komitmen iklim, sekaligus menjadi indikator apakah restorasi gambut dilakukan dengan tepat dan masif seperti perintah Perpres Nomor 1 Tahun 2016. Dia menjelaskan kajian KAR dilakukan menganalisis titik panas di Provinsi Riau menggunakan data dengan tingkat kepercayaan tinggi (lebih besar sama dengan 80 persen), serta investigasi lapangan untuk menelisik kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada periode Januari-Maret 2019.
Guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero mengingatkan pentingnya memastikan korporasi melakukan upaya restorasi gambut sesuai standar. Sebab, menurut dia, hal itu menjadi kunci mengawal target penurunan emisi tercapai pada 2030.
“Jika wilayah konsesi sudah dinyatakan masuk wilayah prioritas restorasi, seharusnya di tahun keempat, konsesinya sudah direstorasi,” ujar Hero.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan wilayah konsesi masih menjadi biang kerok. Karena itu, permasalahan itu harus segera dicari penyelesaiannya. Dalam memastikan kepatuhan korporasi, menurut dia, Badan Restorasi Gambut (BRG) dan KLHK harus bersinergi saling melengkapi.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware menyoroti adanya wilayah yang dikuasai masyarakat dalam area konsesi sawit dan hutan tanaman industri (HTI) yang kembali terbakar di Riau. Dia mengatakan titik api dan karhutla tidak berdiri sendiri, tetapi selalu ada pemicu. Salah satunya konflik. Karena itu, menurut dia, jika ingin menyelesaikan karhutla, maka sekaligus menyelesaikan konflik.
“Urusan karhutla bukan hanya sekat kanal dan sumur bor, tapi juga penyelesaian konflik. Gubernur Riau sudah mencanangkan Riau hijau. Maka, penyelesaian konflik harus menjadi prioritas juga,” kata Inda.
Mengingat mandat BRG yang wilayahnya luas, dia beranggapan komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah daerah, perusahaan, dan jaringan masyarakat di daerah harus kuat. Kemudian, sinergi agenda BRG dan jaringan masyarakat harus diakselerasi. Selain itu, nota kesepahaman dengan RSPO (asosiasi berbagai organisasi sektor industri kelapa sawit) harus ditindaklanjuti, karena banyak perusahaan yang punya konsesi di wilayah prioritas restorasi adalah anggota RSPO.