REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Indonesia Adil-Makmur dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno resmi tutup buku. Kesepakatan pembubaran itu diputuskan dalam pertemuan terakhir antarpimpinan partai politik koalisi pada Jumat (28/6) lalu.
PKS sebagai salah satu pendukung utama koalisi belum menentukan sikap politik secara resmi ke depannya. Apakah tetap bersama mitra koalisinya, Partai Gerindra, sebagai oposisi atau merapat ke koalisi pemerintah.
"Kami belum bisa menentukan saat ini. Keputusan tentang sikap partai untuk bergabung atau tidak akan diputuskan pada sidang Majelis Syuro PKS," ujar Direktur Pencapresan DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Suhud Aliyudin, Senin (1/7).
Menurut Suhud, Majelis Syuro PKS merupakan lembaga tertinggi pengambil kebijakan partai. Tidak menutup kemungkinan dalam waktu dekat akan dilakukan sidang majelis syuro. Salah satunya yakni untuk merespons perkembangan politik pascapilpres 2019.
Sementara itu, terkait tawaran kursi kementerian atau ajakan untuk bergabung ke dalam pemerintahan secara langsung, Suhud mengaku belum. Pada periode 2014-2019, PKS berada di oposisi bersama Partai Gerindra hingga pada akhirnya kembali berkoalisi untuk Pilpres 2019.
"Kalau tawaran yg dilakukan secara langsung ke pihak kami belum ada. Tapi, kalau tawaran yang disampaikan melalui pihak lain ada," tutur Suhud.
Sebelumnya, anggota Dewan Majelis Syuro PKS Aboe Bakar Alhabsyi tidak yakin jika Gerindra akan menerima tawaran kubu 01 untuk bergabung ke dalam koalisi pendukung pemerintah. Menurut dia, bagaimanapun fungsi oposisi itu sangatlah penting. Alhabsyi juga menyayangkan jika nantinya Gerindra bergabung ke koalisi pendukung Jokowi Widodo.
"Jadi, sebenarnya posisi ini (oposisi) sangat mulia karena berfungsi menjaga keseimbangan. Karena keseimbangan sepeda diperoleh dengan berjalannya roda. Demikian juga demokrasi dan pemerintahan kita," ujar Alhabsyi.