REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polarisasi akibat fanatisme politik, agama, dan etnis berpotensi mengancam persatuan bangsa jika tak segera dihentikan. Apalagi, polarisasi itu terus dipupuk dengan maraknya penyebaran hoaks, ujaran kebencian, adu domba dan fitnah melalui media sosial.
"Polarisasi akan semakin melebar di tengah kemampuannya literasi masyarakat yang belum mencukupi," kata kata Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho di Jakarta, Kamis (20/6).
Septiaji menilai peradaban digital telah mengubah pola masyarakat dalam berinteraksi dan mengonsumsi informasi. Peradaban digital menjadikan interaksi masyarakat semakin homogen, demikian pula dalam hal mengonsumsi informasi.
Persoalannya, tidak semua informasi yang diterima benar adanya, sementara kemampuan menyaring sekaligus memverifikasi informasi pun rendah. Bahkan, pendidikan tinggi tak menjamin terbebas dari hoaks.
Untuk itu, kata Septiaji, pertemuan fisik, silaturahim harus digencarkan. Pertemuan para tokoh masyarakat, tokoh agama, elite politik, tokoh pemuda, juga pertemuan angarwarga menjadi sesuatu yang penting dilakukan.
Masyarakat juga harus memperbanyak aktivitas dunia nyata dengan peserta heterogen sehingga mampu mengurangi rasa curiga kepada orang lain yang dipersepsikan berbeda aspirasi. "Masyarakat perlu memperbaiki keguyuban, memperbanyak interaksi dunia nyata, untuk menghindari ilusi kelompokku benar, kelompokmu salah yang mudah terbangun dalam grup digital yang semakin homogen," ujarnya.
Secara bersamaan, gerakan literasi harus terus digalakkan guna meningkatkan ketahanan informasi masyarakat, relawan anti hoaks harus diperbanyak. "Sangat penting untuk merangkul sebanyak mungkin tokoh untuk bersama menjadi agen melawan hoaks dan kedustaan," ujar Septiaji.