REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polri dinilai luput mengungkap fakta dari peristiwa terbunuhnya sembilan korban dalam aksi 22 Mei 2019 yang dinantikan keluarga korban. Namun, Polri justru sangat cepat dalam menindak dan menangkap para terduga pelaku rencana pembubuhan empat tokoh nasional.
Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Muhammad Iqbal menjelaskan, bahwa alasan pengungkapan upaya pembunuhan tokoh-tokoh nasional lebih cepat karena informasi yang diterima kepolisian juga lebih dulu sampai. Sehingga pada 21 Mei 2019 pelaku lebih dulu diamankan. “Kan itu sudah lama, 21 Mei itu sudah kita ungkap, sudah kita tangkap itu. 21 Mei pada hari pertama (aksi),” kata Iqbal di Mabes Polri, Kamis (13/6).
Iqbal memberikan contoh terkait pengungkapan kasus senjata ilegal yang diduga akan digunakan untuk membunuh empat tokoh nasional tersebut. Senjata api ilegal tersebut milik purnawirawan TNI atas nama Soenarko alias S.
“Kalau misalnya (tersangka) S, itu Bais yang nangkap. Karena S sudah Purnawirawan (maka) diserahkan ke Polri. Itu Bais, Puspom AD,” kata Iqbal.
Soenarko telah ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan atas kasus dugaan kepemilikan senjata api ilegal. Bahkan POM TNI pun telah melakukan pemeriksaan kepada Soenarko pada 20 Mei 2019.
Kasubdit 1 Dirtipidum Bareskrim Polri Komisaris Besar Polisi Dadi Hartadi dalam konferensi pers di Kantor Menko Polhukam mengatakan, bahwa senjata yang dimiliki oleh Soenarko masih aktif dan berfungsi dengan baik. Senjata tersebut merupakan barang sitaan GAM di Aceh yang selama ini dititipkan pada tersangka HR yang merupakan sopir semasa Soenarko bertugas di Aceh.
Sebelumnya, kuasa hukum Soenarko Ferry Firman Nurwahyu membantah bahwa senjata tersebut masih aktif. Menurutnya, senjata itu sudah tua dan memang sudah diperintahkan oleh Soenarko untuk ditaruh di museum.
Perintah Soenarko itu telah dilakukan sejak 10 tahun lalu. Dia juga mengaku curiga bagaimana mungkin perintah yang dilakukan sejak 10 tahun lalu kemudian baru dijalankan saat ini, apalagi pascapemilu 2019.
“Ini bukan waktu yang tepat, orang lagi situasi politik seperti ini kok ngirim senjata, yang benar saja. Pasti ada pihak-pihak tertentu yang bermain, yang mendorong namanya Heriyanto (HR) itu mengirim (senjata), wallahu a’lam,” kata Ferry di Hotel Century Park, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (31/5).
Adapun, kritikan bahwa Polri dinilai luput mengungkapkan pelaku penembakan sembilan korban kerusuhan 22 Mei datang dari Amnesty International Indonesia. Amnesty menilai polisi gagal mengungkap fakta sembilan korban tewas dalam peristiwa tersebut.
“Narasi yang beredar hari ini terkesan mengarahkan wacana bahwa semua korban yang tewas adalah ‘perusuh’, dan seakan ingin ‘mewajarkan’ kematian mereka sebagai konsekuensi logis yang dari tindakan mereka dalam insiden ‘kerusuhan’, " Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Menurut Usman, seharusnya polisi mengungkapkan bukti-bukti yang memadai tentang penyebab kematian mereka terlebih dahulu. Setelah itu mengumumkan siapa-siapa yang patut diduga sebagai pelaku penembakan terhadap mereka.
“Ini menyakitkan bagi keluarga korban yang hari ini berharap polisi mengumumkan ke publik siapa yang melakukan penembakan kepada korban, tapi justru mendapat penjelasan sepihak bahwa seakan mereka semua adalah ‘perusuh’, " kata Usman.