Jumat 31 May 2019 06:49 WIB

Referendum dan Perang Aceh: Jangan Lupakan Sejarah

Jangan anggap sepela soal adanya tuntutan referendum Aceh.

Pasukan Morsase (Pasukan Khusus) Belanda sewaktu perang Aceh.
Foto: Gahtena.nl
Pasukan Morsase (Pasukan Khusus) Belanda sewaktu perang Aceh.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Ada apa dengan Aceh? Pertanyaan ini mengemuka hari-hari ini. Tiada angin tiada hujan dan terindikasi dengan soal persaingan pemilu dan pilpres 2019, tiba-tiba mendadak ada permintaan referendum itu dikatakan Muzakir Manaf alias Mualem.

“Alhamudlillah, kita melihat saat ini, negara kita di Indonesia tak jelas soal keadilan dan demokrasi. Indonesia diambang kehancuran dari sisi apa saja. Itu sebabnya, maaf Pak Pangdam, ke depan Aceh kita minta referendum saja,” begitu tegas Muallem yang disambut tepuk tangan dan yel yel "hidup Muallem".

Menariknya ucapan ini dikatakan langsung oleh Muallem pada acara terbuka berbuka bersama tokioh penting Aceh. Acara itu berupa peringatan Kesembilan Tahun (3 Juni 2010-3 Juni 2019), wafatnya Wali Neugara Aceh, Tgk. Muhammad Hasan Ditiro  Gedung Amel Banda Aceh, Senin (27/5) malam kemarin.

Pidato Muallem ini jelas sesuatu yang serius meski beragam analisanya. Pejabat pemerintah dan politisi Aceh misalnya menghargai itu  sebagai hak berendapat. Pejabat tinggi nasional yang ada di Jakarta pun begitu.

Menhan mengatakan Muallem tak usah macam-macam karena itu soal baru yang mengancam negara NKRI dan bisa berakibat munculnya kasus konflik seperti dahulu. Mendagri mengatakan pernyataan itu berlebihan karena semua hak dan kewenangan sudah diberikan kepada Aceh.

Namun apa pun jadinya, fantasi  yang ada di kepala saya tentang konflik Aceh sewaktu ditetapkan sebagai daerah Operasi Militer dan sebelum ada perjanjian damai bangkit kembali. Masih terbayang suasana kekerasan hingga serbuan tentara di Lhokseumawe pada menjelang tahun 2000-an.

photo
Rakyat Aceh di kala menuntut referendum menjelang ditandatanginya perjanjaian damai di Helsinki beberapa tahun silam. (google.com)

Saya melihat langsung  banyak sekali korban yang menyesaki rumah sakit kala itu  akibat indisen perempatan Cunda, penyerangan Kampung Kandang, hingga terbunuhnya banyak tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka sempat ketemu dengan saya, misalnya Sofyan Dawood yang jenaka serta ke mana-mana pakai kaca mata hitam atau Ahmad Kandang yang pendiam. Tragis memang.

Selain itu saya juga simak cerita  dari rekan jurnalis senior, Teguh Setiawan, yang sempat bertemu Tengku Bantaqiyah di hutan pedalaman Aceh sebelum tertembak. Katanya, sosok juga lucu, menarik, sekaligus  penuh kharisma. Dia seorang taat beribadah dan hidup kesehariannya sangatlah sederhana

Teguh bercerita bila anak pasukan Bantaqiyah selalu dia diperintahkan menjalani amalan agama tertentu dalam surau di pedalaman ketika berjuang. Bantaqiyah juga serius melakukan wirid setiap shalat, terutama setelah shalat Maghrib sampai datangnya waktu Isya. Dia selama itu tak pernah ke luar atau bangkit dari tempat duduk shalatnya.

‘’Untuk sampai ke tempat Tgk Bantaqiyah saya perlu sampai dua malam. Letaknya sangat susah di pedalaman Aceh Barat. Saya ke sana dipandu kurir dan harus berjalan kaki naik turun gunung dan masuk hutan,’’ kata Teguh mengenakan. Setelah bertemu, lanjutnya Tg Bantaqiyah tertembak dalam operasi penyergapan yang dilakukan TNI.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement