Jumat 31 May 2019 06:49 WIB

Referendum dan Perang Aceh: Jangan Lupakan Sejarah

Jangan anggap sepela soal adanya tuntutan referendum Aceh.

Pasukan Morsase (Pasukan Khusus) Belanda sewaktu perang Aceh.
Foto:
Pohom geulumpang, orang Aceh menyebut ini sebagai pohon Kohler, karena menjadi lokasi tertembaknya Jendral Kohler ketika dahulu menyerbu Kuta Raja (Banda Aceh). Pohon ini berada persis di halaman depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Namun, pohon ini sudah ditebang.

Selain itu saya juga sempat saksikan betapa berat dan penuh emosi para warga Aceh menjelang dan ketika perjanjian damai. Di pedalaman kampung di Aceh Utara saya saksikan ibu-ibu menangis ketika para juru damai yang terdiri dari orang Indonesia, asing, dan Aceh melakukan simbolisasi perdamaian dengan memotong senjata, termasuk memotong senjata serbu yang legendaris milik GAM, yakni senapan AK 47.

Saat itu, di tepi ladang sebuah kampung yang terpencil yang dijadikan tempat upacara perdamaian dan landasan helikopter, para ibu sembari menggendong anak-anaknya menyaksikan salah satu bagian acara perdamaian dengan berlinang air mata.

’’Saya tak terima-saya tidak terima. Senjata itu dibeli dari uang kami orang Aceh,’’ kata para ibu saat itu sembari sesenggukan. Mereka duduk di bawah pohon kelapa sembari melihat acara dari kejauhan.

Nah, di situlah hati saya bergidik dan melihat ‘kilatan api perlawanan’ yang ada di dalam diri dan mata mereka. Di situ saya teringat sosok Cut Nyak Dien pejuang Aceh yang meninggal dalam pengasingan Belanda di Jawa Barat yang legendaris itu. Betapa teguh dan berani sikap para ibu itu.

Sama dengan Teguh saya pun khawatir dengan situasi yang muncul belakangan. Untuk menuliskan kegundahan hatinya saya menjadi paham bila menulis begini. Apalagi dia saat itu orang dari Jakarta yang diberi tugas mengurus sebuah koran yang terbit di Aceh. Teguh tahu persis risiko yang berulang kali dialaminya sebagai orang yang disebut sebagai ‘orang Jawa’. Nyawa jadi taruhan.

Kali ini melalui laman media sosial dia pun khusus menulis tentang Aceh yang ditujukan kepada saya yang juga mengalami tragedi konflik Aceh secara langsung. Dia menulis begini:

“Saya bermimpi mengunjungi Aceh bersama Muhammad Subarkah.  Sepanjang perjalanan membaca HC Zentgraff (buku ini menuliskan kisah seorang Morsase selama bertempur di Aceh), mampir di Pesantren Tano Abe, membaca karya Hamzah Fansuri, seraya membayangkan berapa lama mendiang pakar sejarah asal Prancis, Dennys Lombard. berada di perpustakaan tertua di Asia Tenggara itu.

''Ingin saya katakan ke Muhammad Subarkah bahwa saat orang Jawa masih sibuk berdebat soal keris berliuk atau tidak, orang Aceh sudah punya perpustakaan. Lalu juga bersama pergi ke Gayo, menikmati kopi luwak di pinggir Danau Laut Tawar, sebelum ekosistem lahan basah itu kini mengecil dan jadi empang,'' lanjutnya.

Selain itu Teguh bermimpi, "Kita nanti akan ke Singkil, mampir ke Pesantren yang membesarkan nama Abdurauf Asy Singkili. Atau ke Beutong Ateuh, bernostalgia di meunasah Teungku Bantaqiah. Balik lagi ke Banda Aceh, dan selfi di lokasi Jenderal Kohler terbunuh saat menyerbu Kutaraja, kota yang kini bernama Banda Aceh.”

photo
Saat Jendral Kohler tertembak di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Lihat lokasinya yang terletak di bawah pohon Geulumpang. (gahetna.nl).

Namun yang paling membuat saya bulu kuduk meremang adalah ketika dia menyarankan agar baca tulisannya bertajuk 'Peutjut yang Sunyi, Perang Aceh yang Terlupa'. Dia ingin bercerita mengenai sebuah arena pemakaman Belanda yang berada di tengah Kuta Raja (Banda Aceh).

Peucut itu bukan sekadar pemakaman serdadu Hindia-Belanda, tapi saksi bisu kehebatan rakyat Aceh melawan serdadu Belanda. Ribuan serdadu Belanda dimakamkan di sini, dan nama-nama mereka tertera di gerbang Peucut. Dengan sejenak membaca nama-nama di gerbang itu, pengunjung akan tahu betapa serdadu Hindia-Belanda yang bertempur di Aceh terdiri dari berbagai suku; Jawa, Ambon, dan lainnya,’’ tulis Teguh.

Ketika membaca tulisan ini saya jadi teringat pernyataan Prof Henk Schulte Nord Holt dari Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) tentang perang Aceh. Katanya, kini hampir tidak ada generasi Belanda (jangan-jangan orang Indonesia juga,red) saat ini yang mengidentifikasi diri dengan Perang Aceh,

"Orang Belanda lebih sibuk dengan isu perbudakan di masa lalu, karena banyak keturunan budak yang tinggal di Belanda. Perang Aceh hanya dilihat sebagai tindakan tidak benar secara politik," katanya.

Di situ ada juga pernyataan dia yang memiriskan hati:”Perang Aceh adalah lonceng besar yang akan terus berbunyi dan memekakan telinga!”

Nah, masihkan semua main-main dengan soal Aceh yang serius ini. Sebab, selain Aceh daerah istimewa lain seperti Jogjakarta dan Papua juga pernah meminta referendum ketika ada soal serius dengan Jakarta.

Maka belajarlah dan jangan lupakan sejarah. Ingat, tak ada yang baru di bawah sinar matahari. Dan semua prajurit TNI yang pernah bertugas di Aceh zaman konflik paham bila sekilas kesan perang di Aceh layaknya mainan, tapi kalau mati sungguhan!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement