REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian bersikeras menolak tuduhan penggunaan peluru tajam oleh para personelnya saat kerusuhan 21 dan 22 Mei di sejumlah titik di DKI Jakarta, Selasa (21/5) dan Rabu (22/5). Mabes Polri juga menolak mengakui sejumlah aktivitas penyiksaan yang dilakukan para anggota kepolisian saat melakukan penangkapan para perusuh di sejumlah titik saat kerusuhan terjadi.
Karopenmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, soal penggunaan peluru tajam sejak awal sudah diantisipasi. “Kalau soal peluru tajam kan sudah saya sampaikan. Bahwa tidak ada aparat Polri dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang melakukan itu (penggunaan senjata api dan peluru tajam),” ujar dia saat dijumpai di Gedung Divisi Humas Polri, Trunojoyo, Jakarta Selatan (Jaksel).
Dedi menerangkan, sebelum demonstrasi 21 dan 22 Mei di Jakarta, Polri dan TNI lewat instruksi Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto sudah menginstruksikan tentang larangan para personel pengamanan menggunakan senjata api dengan peluru tajam. “Itu komitmen sejak awal,” sambung Dedi.
Ia menerangkan, instruksi itu agar menghindari tuduhan kepada Polri dan TNI jika terjadi korban tewas akibat peluru tajam.
Tuduhan itu, kata Dedi terbukti. Pada saat kerusuhan 21 Mei di kawasan Petamburan dan sekitaran Jakarta Barat (Jakbar), korban tewas tak terelakkan. Sampai saat kerusuhan 22 Mei, dan Kamis (23/5) dini hari di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat (Jakpus), tercatat korban tewas sebanyak delapan orang. Di antara korban tewas tersebut, diidentifikasi lantaran terjangan peluru tajam.
Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) tercatat satu korban tewas rujukan dari RS Budi Kemulyaan yang teridentifikasi terkena peluru tajam.
Sedangkan di RS Polri Kramat Jati, terdapat empat korban yang juga diduga tewas akibat peluru dari senjata api. Namun berbeda dengan pengakuan RSCM, RS Polri menolak mengidentifikasi empat jenazah korban terkena peluru tajam atau karet.
Tuduhan penggunaan senjata api dengan peluru tajam semakin menyasar Polri. Itu setelah para pelaku kerusuhan 21 Mei menemukan sejumlah kotak kayu yang berisikan ribuan amunisi tajam di dalam mobil Brimob di Slipi, Jakbar, Selasa (21/5).
Penemuan tersebut sempat membuat viral sesaat setelah korban tewas dan luka-luka tercatat di rumah sakit-rumah sakit dan pos-pos kemanusian.
Namun Mabes Polri menolak peluru tajam yang ditemukan para pelaku kerusuhan tersebut dijadikan alat untuk melumpuhkan para perusuh waktu itu.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Muhammad Iqbal, pada Rabu (22/5) mengatakan, peluru tajam yang ditemukan di Slipi, disimpan dalam mobil operasional Komandan Batalyon (Danyon) Brimob. Kata dia, peluru tajam tersebut hanya boleh digunakan oleh pleton anti-anarkis. “Dan peleton anti-anarkis itu, saat demonstrasi 21 dan 22 Mei belum diterjunkan,” sambung Dedi.
Menolak dituduh Polri menggunakan senjata api, Dedi melanjutkan kecurigaan Polri, peluru tajam yang bersarang di tubuh korban tewas ulah pihak ketiga yang menunggangi aksi demonstrasi menolak hasil Pilpres 2019.