Rabu 15 May 2019 00:13 WIB

Imigrasi: UBN Belum Dicegah, Terakhir Terbang ke Malaysia

Lantaran tengah berada di luar negeri, UBN tidak memenuhi panggilan kepolisian.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Pimpinan AQL, Ustaz Bachtiar Nasir (tengah).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Pimpinan AQL, Ustaz Bachtiar Nasir (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasubag Humas Ditjen Imigrasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Sam Fernando mengungkapkan, status Ustaz Bachtiar Nasir sampai Selasa (14/5) tidak dalam status cegah tangkal (cekal). Ditjen Imigrasi merespons Mabes Polri terkait keberadaan UBN yang saat ini telah berada di luar negeri.

“Terkait dengan pencekalan (UBN) sampai saat ini, belum terdapat dalam di sistem kami (Keimigrasian). Kami selaku instansi pelaksana, tidak bisa serta merta melakukan pencegahan dan penangkalan apabila tidak ada permohonan dari menteri atau kepala lembaga yang berdasarkan undang-undang punya kewenangan melakukan pencekalan,” kata Sam kepada Republika, Selasa (14/5).

Baca Juga

Ditjen Imigrasi, kata Sam, menanyakan tentang surat permohonan pencekalan keluaran Polri. “Silakan bertanya ke instansi terkait surat (permohonan) sebagaimana yang dimaksud,” ujar dia. Sam pun mengungkapkan, terkait mobilitas UBN yang tercatat di Keimigrasian saat ini.

Keimigrasian, kata dia, terakhir kali mendeteksi UBN terbang ke Malaysia, pada Ahad (12/5) pada pukul 12:15 WIB. Atau, lima hari setelah absen pemeriksaan kedua, pada Rabu (8/5).

Pernyataan Sam berbeda dengan pengakuan Karopenmas Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo. Menurutnya, Bareskrim Polri sebetulnya mengeluarkan permintaan kepada Imigrasi, agar melakukan cekal terhadap UBN.

Permintaan Polri, dikatakan Dedi pada Kamis (9/5). Saat itu, Bareskrim juga mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Agung (Kejagung).

Dedi, pada Selasa (14/5), pun baru mengetahui keberadaan UBN yang berada di luar negeri setelah permohonan pencekalan dilakukan. “Yang bersangkutan sudah ke Arab (Saudi) duluan (sebelum pencekalan dilakukan),” ujar Dedi.

Meski demikian, kata Dedi, penyidik masih akan melanjutkan kasus dugaan pidana yang dilakukan UBN. Dedi pun berharap keberadaan UBN di luar negeri selama proses penyidikan, tak bermaksud melarikan diri.

UBN diketahui berstatus tersangka lewat surat pemanggilan pemeriksaan pada 3 Mei. Menengok SPDP yang dikirimkan Bareskrim ke Kejaksaan, UBN dituduh melakukan dugaan rangkap pidana. Yaitu berupa penggelapan, pengalihan aset tak wajar, serta pencucian uang, dan penyalahgunaan aset yayasan yang melanggar ketentuan perbankan syariah.

Kasus UBN berawal dari penyidikan Ditipideksus pada 2017. Ditipideksus melakukan penyelidikan atas dugaan penggelepan dana masyarakat yang mengendap di YKuS sebesar Rp 3,8 miliar.

Yayasan tersebut dipimpin oleh UBN. Penyidik mencurigai sebagian dana tersebut digunakan UBN untuk kepentingan pribadi. Polisi bahkan mencurigai dana tersebut sebagai wadah pencucian uang untuk kegiatan yang ilegal.

UBN pernah mengklarifikasi kasus tersebut. Ia mengatakan, dana yang terkumpul dari masyrakat dalam rekening YKUS sebagian digunakan untuk mendanai aksi massa Bela Islam, pada 2016 lalu.

UBN pernah didaulat sebagai Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI). Gerakan tersebut, sebagai reaksi umat Islam atas penistaan dan pelecahan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.

Gerakan itu menghadirkan gelombang demonstrasi damai terbesar dalam sejarah Indonesia, yang terkenal dengan massa aksi 411 dan 212. Selain untuk mendanai aksi tersebut, UBN menerangkan sebagian lainnya digunakan untuk membantu korban bencana gempa di Pidie, Aceh, dan banjir di Nusa Tenggara Barat (NTB). Tetapi penyelidikan berjalan, kepolisian tetap mengusut dugaan pidana dalam penggunaan uang sumbangan masyarakat tersebut.

Atas sangkaan tersebut, Bareskrim Polri menjerat UBN dengan tuduhan berlapis. Yaitu Pasal 70 juncto Pasal 5 ayat (1) UU nomor 16/2001 tentang Yayasan yang diubah menjadi UU nomor 28/2008, Pasal 374 juncto Pasal 372 atau Pasal 378 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 atau Pasal 56 KUH Pidana. Serta Pasal 49 ayat (2) huruf b UU nomor 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal 3 dan Pasal 5 serta Pasal 8 UU nomor 8/2010, tentang TPPU.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement