Selasa 14 May 2019 06:40 WIB

Mulanya Penyair Taufiq Ismail Mencintai Sastra (4-Habis)

Taufiq Ismail terkesan dengan keluarga, guru, dan cara pengajaran sastra di Amerika

Penyair Taufiq Ismail memberikan paparannya pada acara diskusi dengan tema Menggali Konsep Pendidikan Karakter dari Karya-karya Sastra Buya Hamka di Jakarta, Selasa (23/8).
Foto: Republika / Darmawan
Penyair Taufiq Ismail memberikan paparannya pada acara diskusi dengan tema Menggali Konsep Pendidikan Karakter dari Karya-karya Sastra Buya Hamka di Jakarta, Selasa (23/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1956, Taufiq Ismail memeroleh beasiswa dari American Field Service International Scholarships (AFSIS). Dengan itu, dia berkesempatan menempuh sekolah SMA satu tahun lamanya di Amerika Serikat.

Daerah tempatnya belajar di Negeri Paman Sam saat itu adalah Whitefish Bay, kota kecil tepian Danau Michigan.

Baca Juga

Taufiq termasuk angkatan pertama penerima beasiswa ini. Dari Indonesia, ada sebanyak tujuh orang. Mereka berangkat ke Amerika Serikat (AS) tidak dengan pesawat udara, melainkan kapal laut. Dari Jakarta, melewati Samudra Hindia, tembus ke Laut Mediterania, berlabuh di Italia, hingga mengarungi Samudra Atlantika—sebulan lamanya.

Keluarga yang mengasuh Taufiq selama di Whitefish Bay adalah pasangan Archie dan Helen. Sang suami merupakan keturunan Swiss, sedangkan istrinya masih berdarah Irlandia. Taufiq mengenang, keluarga ini amat ramah. Mama Helen gemar membaca buku-buku sastra.

Dari sinilah, tekad kuat Taufiq Ismail menjadi seorang sastrawan bermula.

Salah satu pelajaran bagi anak-anak SMA di sana ialah kewajiban membaca karya sastra, mendiskusikannya, dan menulis karangan tentangnya.

Bagi Taufiq saat itu, tugas menulis dan membaca cukup berat. Beruntung, Mama Helen selalu siap mendampinginya belajar di rumah. Bila ada tugas membaca novel, ibu angkatnya itu duduk di sebelahnya—siap ditanya tentang kata-kata yang sulit di dalam karya itu serta maknanya.

“Dia seperti kamus hidup. Tugas saya jadi lebih cepat diselesaikan karena saya lekas memahaminya dari dia,” kenang Taufiq.

Lingkungan sekolah juga amat menyenangkan. Tak seperti SMA di Tanah Air. Taufiq mengaku saat itu terkesima dengan banyaknya koleksi perpustakaan sekolah di Whitefish Bay. Ada sekira 100 ribu judul buku.

Perpustakaan selalu ramai pengunjung, baik siswa maupun guru-guru yang datang dengan tertib, tanpa gaduh. Buku-buku sastra yang wajib dibaca, disediakan oleh perpustakaan ini. Tiap murid juga dapat meminjamnya, membawanya pulang ke sekolah. Keadaan ini bak oasis baginya.

Satu sosok lain yang begitu mengesankannya adalah Bu Clara Czarkowski. Dialah guru sastra di sekolah SMA Whitefish Bay. Menurut Taufiq, cara mengajar gurunya itu sangat efektif dalam menumbuhkan kecintaan terhadap membaca buku dan menulis karangan.

Bu Clara membimbing para murid dalam membaca karya-karya sastra. Semisal, novel-novel John Steinbeck, Ernest Hemingway, Hemran Merville; kemudian sajak-sajak karya Edgar Allan Poe, Walt Whitman, Emily Dickinson, dan seterusnya.

Ada pula sesi penayangan film-film yang terinsipirasi dari karya-karya sastra. Kemudian, para murid juga disuguhkan dokumenter tentang sejumlah pengarang yang melahirkan karya-karya kanon sastra Amerika.

Bagi Taufiq, metode pengajaran dan para guru sendiri di sana memikat para siswa untuk mencintai sastra. “Dari sanalah saya bertekad, ingin menjadi sastrawan,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement